Prabowo Kumpulkan Pemred, Media Harus Tetap Kritis?

Pertemuan Prabowo dengan sejumlah pemred, Sabtu (22/2). Sumber: merdeka.com


Penulis: Adam Kasjmir

Editor: Muhammad Abyan Dafi


Sabtu, (22/2/2025), Presiden Prabowo Subianto mengundang sejumlah pemimpin redaksi media massa ke kediamannya di Padepokan Garudayaksa, Hambalang. Dalam pertemuan yang berlangsung selama enam jam itu, Prabowo berdiskusi dengan para pemimpin media mengenai isu-isu terkini dan kebijakan strategis pemerintahannya. Momen ini menarik perhatian publik, terutama karena terjadi sehari setelah demonstrasi besar-besaran bertajuk #IndonesiaGelap yang menyoroti berbagai kebijakan kontroversial pemerintah.

Pertemuan yang sarat makna politik

Pertemuan ini bukan yang pertama kali dilakukan Prabowo dengan pemimpin redaksi media. Sebelumnya, ia juga menggelar diskusi serupa pada Juni 2023 saat masih menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Namun, pertemuan kali ini memiliki konteks berbeda: Prabowo kini adalah kepala negara, dan pertemuan itu terjadi di tengah meningkatnya kritik publik terhadap pemerintahannya.


Dalam keterangannya, Prabowo menyebut bahwa media memiliki peran penting sebagai ujung tombak penyampaian informasi kepada masyarakat. "Semoga pertemuan ini semakin memperkuat sinergi dan kontribusi media dalam membangun bangsa," ujarnya. 


Pernyataan ini terdengar normatif, tetapi di tengah realitas politik yang berkembang, ada pertanyaan yang mengemuka: 


Apakah ini bentuk penguatan sinergi atau upaya membangun kedekatan dengan media di tengah gejolak kritik?


Dinamika pasca demonstrasi #IndonesiaGelap

Pertemuan ini berlangsung hanya sehari setelah demonstrasi yang diorganisir oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) bersama Koalisi Masyarakat Sipil. Demonstrasi ini menyoroti berbagai kebijakan Prabowo yang dianggap menciptakan ketidakstabilan ekonomi dan merugikan masyarakat kecil.


Tuntutan yang disampaikan mencakup efisiensi kabinet, penghapusan dwifungsi militer, reformasi kepolisian, hingga penolakan terhadap revisi sejumlah undang-undang yang dinilai menguntungkan oligarki.


Dalam situasi seperti ini, pertemuan Prabowo dengan pemimpin redaksi tentu bukan sekadar ajang silaturahmi biasa. Ada kesan bahwa pemerintah sedang berusaha meredam kritik dan membangun narasi alternatif di hadapan media. Pertanyaannya, apakah media akan tetap menjaga independensinya, atau justru terperangkap dalam diplomasi politik kekuasaan?


Media dan tantangan netralitas

Dalam diskusi tersebut, Prabowo disebut memberikan penjelasan mengenai berbagai kebijakan pemerintahannya, termasuk program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan efisiensi anggaran. Pemimpin redaksi Katadata, Yura Syahrul, menyebut Prabowo menjelaskan berbagai isu secara "gamblang dan transparan" serta merespons pertanyaan para pemred. Namun, transparansi yang diklaim dalam ruang tertutup tentu berbeda dengan transparansi yang seharusnya hadir di ruang publik.


Menurut Pakar Komunikasi Politik Hendri Satrio, pertemuan ini mencerminkan lemahnya komunikasi publik pemerintah. "Karena komunikasi publiknya buruk, Presiden merasa harus menyampaikan langsung ke para pemred sekaligus untuk menjaga hubungan baik antara pemerintah dan media massa," ujarnya. 


Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah menyadari media masih menjadi kekuatan besar dalam membentuk opini publik. Namun, apakah pertemuan ini justru menjadi strategi untuk meredam kritik terhadap pemerintah?


Ujian independensi pers

Dalam ekosistem demokrasi, peran media bukan sekadar sebagai penyampai informasi, tetapi juga sebagai pengawas kekuasaan (watchdog). Hubungan antara pemerintah dan media memang bisa bersinergi, tetapi tidak boleh mengorbankan independensi jurnalistik. Ketika media terlalu dekat dengan kekuasaan, potensi bias dalam pemberitaan menjadi semakin besar.


Sejumlah kasus menunjukkan bagaimana kedekatan media dengan penguasa bisa berbahaya. Misalnya, dalam pemerintahan sebelumnya, beberapa media cenderung meminimalkan kritik terhadap kebijakan pemerintah dan bahkan berperan sebagai alat legitimasi kekuasaan. 


Dalam konteks Prabowo, media harus memastikan bahwa mereka tidak terjebak dalam pusaran politik kekuasaan yang bisa mengikis fungsi kontrol terhadap pemerintah.


Pertemuan di Hambalang ini seharusnya menjadi refleksi bagi media. Apakah mereka akan tetap berdiri tegak sebagai pilar demokrasi yang kritis dan independen, atau akan masuk ke dalam lingkaran kenyamanan yang disediakan penguasa? Jika media mulai kehilangan daya kritisnya, maka publik harus bersiap menghadapi masa di mana kebebasan pers hanya menjadi slogan tanpa substansi.


Post a Comment

0 Comments