![]() |
Foto : Aksi Massa di Jakarta Protes di depan aparat kepolisian. [Kanal Perspektif/Irvine Althaf Fulca] |
Pada 21 Maret 2025, Bandung menjadi saksi bisu atas tragedi yang seharusnya tidak pernah terjadi dalam negara demokrasi. Aksi #TolakRUUTNI yang dilakukan mahasiswa dan masyarakat sipil berujung pada kekerasan brutal. Di luar dugaan, demonstrasi damai yang seharusnya menjadi ruang ekspresi aspirasi rakyat malah berubah menjadi medan represi. Massa aksi tidak hanya berhadapan dengan polisi, tetapi juga dengan ormas dan bahkan TNI, sebuah pemandangan yang mengingatkan kita pada masa-masa kelam otoritarianisme.
Kekerasan yang Terkoordinasi
Dalam demonstrasi tersebut, mahasiswa dan aktivis yang menolak pengesahan RUU TNI dikepung dari tiga arah, oleh aparat kepolisian, kelompok ormas yang membawa balok dan senjata tajam, serta personel TNI. Pertanyaannya, sejak kapan ormas memiliki legitimasi untuk turun menghadapi massa aksi? Apakah tugas mereka kini adalah melindungi penguasa, bukan rakyat?
Tak hanya itu, polisi yang seharusnya menjadi penegak hukum justru berperan aktif dalam aksi kekerasan ini. LBH Bandung melaporkan bahwa setidaknya 25 orang mengalami luka-luka akibat pemukulan brutal, termasuk seorang pengemudi ojek online yang hanya kebetulan berada di lokasi. Bahkan, seorang jurnalis dari Kompas.com turut menjadi korban pemukulan saat menjalankan tugasnya. Sejak kapan tugas polisi adalah membungkam pers dan membiarkan kebebasan sipil dihancurkan?
Militerisme dalam Bayangan Reformasi yang Gagal
Lebih mengkhawatirkan lagi, kehadiran TNI dalam pengepungan ini menjadi alarm keras bahwa militer mulai kembali terlibat dalam urusan sipil. Seharusnya, pasca-reformasi, TNI fokus pada tugas pertahanan negara dan tidak terlibat dalam konflik horizontal di dalam negeri. Namun, apa yang kita saksikan di Bandung justru menunjukkan bagaimana militer mulai kembali menguasai ruang-ruang sipil—sesuatu yang seharusnya sudah dikubur bersama dengan Dwifungsi ABRI di era Orde Baru.
Jika TNI kini mulai turun tangan untuk menghadapi demonstrasi sipil, apa jaminan bahwa di masa depan mereka tidak akan digunakan untuk membungkam perbedaan pendapat secara lebih represif? Bukankah keterlibatan mereka dalam urusan sipil adalah langkah mundur menuju negara yang lebih otoriter?
Negara Gagal Melindungi Warga
Yang paling menyedihkan adalah bagaimana negara membiarkan ini terjadi. Seharusnya, negara bertindak sebagai wasit yang adil, melindungi hak rakyat untuk menyampaikan pendapat, bukan malah memberi ruang bagi kekerasan terorganisir yang mengancam kebebasan berekspresi. Namun, apa yang terjadi di Bandung justru menunjukkan negara semakin memihak pada kekuatan yang ingin membungkam rakyatnya sendiri.
Jika demonstrasi malam itu dianggap melanggar aturan, kenapa pendekatannya harus dengan kekerasan? Kenapa tidak ada upaya dialog atau negosiasi? Kenapa ormas bisa hadir seolah mereka bagian dari aparat keamanan? Jika negara tidak bisa menjamin hak warganya untuk berdemonstrasi, maka demokrasi Indonesia sedang dalam bahaya besar.
Jangan Diam, Jangan Lupakan
Bandung bukan sekadar kejadian satu malam. Bandung adalah simbol bahwa represi bisa datang kapan saja, kepada siapa saja, tanpa alasan yang jelas. Jika kita membiarkan ini berlalu tanpa kritik, maka bukan tidak mungkin esok lusa, suara kita sendiri yang akan dibungkam.
Kita tidak boleh diam. Kita tidak boleh melupakan.
Karena sejarah telah mengajarkan: ketika negara membiarkan rakyatnya dipukul, itu adalah tanda bahwa kita tidak lagi hidup dalam demokrasi, melainkan dalam negara yang takut pada rakyatnya sendiri.
0 Comments