Kisah Karya-Karya yang Disingkirkan oleh Kuasa

 

Lukisan karya Yos Suprapto yang dibredel Pemerintah. Foto: BBC 

Pada suatu pagi yang biasa, Yos Suprapto terbangun dengan keyakinan bahwa hari itu akan menjadi titik puncak bagi perjalanan seninya. Namun, tanpa peringatan, dunia yang telah ia rancang dengan sapuan kuasnya mendadak runtuh. Karyanya, yang seharusnya berdiri tegak di dinding Galeri Nasional, justru menemui nasib sebagai benda asing—terasing dari ruang yang seharusnya menjadi rumahnya sendiri. Ia dilarang masuk, tak bisa menyentuh kanvasnya, apalagi merayakan buah pikirnya. Dalam satu malam, segalanya musnah, seolah-olah ia hanya bermimpi. Tak ada suara yang lebih nyaring dari kebisuan seorang seniman yang dipaksa bungkam.

Yos Suprapto dan lukisannya yang 'diturunkan' pada GNI. Foto: Detik.com

Ketika Kuas Tak Lagi Bebas

Di penghujung 2024, negara mencatat sebuah preseden baru dalam represi seni. Yos Suprapto, seorang pelukis asal Yogyakarta, mendapati dirinya menjadi korban pembredelan di Galeri Nasional Indonesia. Pada 19 Desember, Yos dilarang masuk ke ruang pamerannya sendiri. Lima dari tiga puluh lukisan yang telah ia persiapkan selama setahun penuh dianggap tak sesuai dengan tema kurasi. Sosok-sosok dalam lukisannya, yang akrab di mata rakyat, rupanya terlalu ‘berbahaya’ untuk dipajang. Narasi resmi mengatakan bahwa ini hanya perkara kuratorial, tetapi di bawah permukaannya, ini adalah suara penguasa yang bergema: ada batas yang tak boleh dilewati.

Tak hanya Yos. Teater Payung Hitam pun harus merasakan getir yang sama ketika lakon "Wawancara dengan Mulyono" dilarang dipentaskan di ISBI Bandung. Studio teater dikunci, baliho dicopot, dan seniman dibiarkan menggigil di depan gedung yang seharusnya menjadi rumah bagi gagasan-gagasan bebas. Ini bukan hanya insiden; ini adalah pernyataan: seni yang kritis, seni yang berani bicara, kini menjadi ancaman.

Band Sukatani melalui unggahan Mira Lesmana. Foto: Instagram @Mirles

Nada-Nada yang Dihilangkan

Di dunia musik, nasib serupa menimpa Sukatani, band punk asal Purbalingga. Lagu mereka, "Bayar, Bayar, Bayar", menghilang dari platform streaming setelah dua personelnya, Lutfi dan Novi, dipanggil polisi untuk ‘klarifikasi’. Tak lama setelahnya, video permintaan maaf mereka muncul di Instagram. Dalam rekaman itu, wajah mereka telanjang, menatap lurus ke kamera dengan nada yang dingin dan berat. “Kami memohon maaf sebesar-besarnya kepada Bapak Kapolri…”—kata-kata itu menggantung di udara, berdenyut dengan ironi yang menyakitkan. Apakah ini suara ketulusan, atau hanya gema dari sebuah tekanan yang tak kasatmata?

Sontak, solidaritas pun meledak di linimassa. Tagar #KamiBersamaSukatani membanjiri media sosial. Musisi seperti Baskara Putra, Voice of Baceprot, hingga Awan .Feast ikut bersuara. Namun, yang hilang tetap hilang: lagu itu tak bisa lagi didengar di Spotify, YouTube, atau platform lainnya. Sebuah lagu yang hanya berisi keluhan rakyat kecil, kini berubah menjadi simbol dari ketakutan yang nyata.

Eksil, sebuah film karya Lola Amaria. Foto: tuturpedia

Panggung yang Digembok, Layar yang Dihitamkan

Tak hanya seni rupa dan musik, dunia perfilman pun ikut terkena dampaknya. Film "Eksil", yang mengisahkan tragedi politik di Indonesia, mendadak batal diputar di Samarinda. Dengan alasan ‘izin belum lengkap’, pemutaran film yang sebelumnya tak pernah bermasalah ini justru dihalangi. Sebanyak 146 tiket telah terjual, penonton telah bersiap, tetapi kebebasan berekspresi harus tunduk pada kekuatan yang lebih besar.

Dulu, ketika reformasi baru lahir, kita percaya bahwa kebebasan telah menemukan jalannya. Tapi kini, di bawah rezim Prabowo-Gibran, seni kembali berjalan di atas tanah yang rapuh. Jika seniman takut berkarya, jika musik harus melewati sensor yang tak terlihat, jika teater digembok, dan jika film ditarik dari layar, lalu di mana letak demokrasi yang kita banggakan?

Ketakutan yang Berwajah Birokrasi

Pemerintah boleh saja berdalih bahwa ini semua hanyalah masalah kurasi, izin, atau prosedur. Tapi kita semua tahu, ketakutan itu nyata. Demokrasi Indonesia yang sudah rapuh kini semakin terperosok. Laporan Freedom House mencatat bahwa pada 2024, indeks demokrasi Indonesia hanya 57 persen, dengan kebebasan sipil di angka tragis: 28 persen.

Ketakutan para birokrat terhadap seni bukanlah ketakutan biasa. Ini adalah paranoia yang lahir dari kepanikan terhadap suara rakyat. Suara yang, meski dibungkam, tetap akan mencari jalannya sendiri. Sejarah telah membuktikan: seni tak pernah benar-benar mati. Seni hanya menunggu untuk kembali bernyanyi dalam ritme perlawanan.

Seni Melawan, Rakyat Bertahan

Dolorosa Sinaga, seorang seniman patung, pernah berkata bahwa seni memiliki kekuatan untuk melawan pemerintah yang represif. "Negara mestinya hadir untuk melindungi karya intelektual, bukan membungkamnya," katanya. Pernyataannya bukan sekadar opini—ini adalah panggilan bagi kita semua.

Hari ini, kita menyaksikan represi, tapi kita juga menyaksikan perlawanan. Dari Yos Suprapto yang menolak menurunkan lukisannya, hingga Sukatani yang suaranya masih menggema di media sosial. Dari Teater Payung Hitam yang tetap bersuara, hingga film-film yang masih beredar di tangan-tangan gelap. Seni akan terus berbicara, karena ia tak bisa dibungkam selamanya.

Pertanyaannya kini bukan lagi apakah seni akan bertahan. Pertanyaannya adalah: apakah kita akan terus diam?

Seni Tidak Bisa Dibunuh

Sejarah mencatat, setiap upaya membungkam seni selalu berakhir dengan kebangkitan yang lebih besar. Kita telah melihatnya di masa lalu—dari puisi Wiji Thukul yang terus berdenyut di dada aktivis, hingga mural-mural yang tetap bermunculan meski dicat ulang berulang kali. Penguasa bisa menyita kuas, merobek naskah, atau menghapus lagu dari internet. Tapi gagasan? Gagasan tidak bisa dibunuh.

Seni adalah cermin zaman. Jika penguasa takut melihat bayangan mereka sendiri, itu bukan salah cerminnya. Itu adalah tanda bahwa kebusukan telah merasuk terlalu dalam. Dan dalam dunia yang terus berubah, suara yang mereka bungkam hari ini, bisa menjadi nyanyian perlawanan esok hari.

Maka, jika seni mereka bungkam, tugas kita adalah memastikan gema itu tak pernah padam.


Dukung tulisan ini agar terus hadir dengan berdonasi disini:

https://www.kanalperspektif.com/p/donasi.html?m=1


Post a Comment

0 Comments