Simbol Garuda Hitam : Jeritan Rakyat di Tengah Krisis



Peringatan Darurat Latar Hitam. Sumber : IDN Times

Fenomena Garuda Pancasila berlatar hitam dengan tulisan 'Peringatan Darurat' menggema di media sosial sebagai refleksi dari kekecewaan rakyat terhadap pemerintah. Gelombang protes ini bukan sekadar tren digital, melainkan respons atas serangkaian kebijakan yang menyengsarakan masyarakat. Mulai dari kelangkaan gas elpiji 3 kg, pemangkasan tunjangan kinerja dosen ASN, hingga ketidakadilan dalam tata kelola pertanahan, semua menciptakan ketidakpastian dan penderitaan bagi rakyat kecil.

Protes digital ini merebak sebagai simbol keputusasaan yang tak lagi bisa dibendung. Ketika suara rakyat tidak mendapat tempat dalam pemerintahan, media sosial menjadi satu-satunya ruang untuk mengungkapkan ketidakpuasan. Tagar #PeringatanDarurat membara di lini masa, diiringi seruan #IndonesiaGelap, menandakan bahwa bangsa ini berada di titik nadir akibat kegagalan kepemimpinan.

Rakyat Terhimpit, Kelangkaan Gas Melon dan Inkonsistensi Kebijakan

Kebijakan pemerintah yang membatasi distribusi elpiji 3 kg menjadi pemicu utama kemarahan publik. Pembatasan penjualan melalui pengecer membuat rakyat kecil harus berjibaku dalam antrean panjang hanya untuk mendapatkan kebutuhan dasar mereka. Pemerintah berdalih bahwa kebijakan ini untuk menertibkan distribusi, tetapi realitanya justru menciptakan kelangkaan yang berujung pada penderitaan masyarakat.

Di berbagai daerah, warga harus berkeliling selama berhari-hari mencari gas elpiji, bahkan beberapa terpaksa antre sejak dini hari. Pemerintah yang seharusnya menjamin kesejahteraan malah membuat kebijakan yang memperburuk keadaan. Parahnya, ketika tekanan publik meningkat, kebijakan pun diubah seolah-olah tak pernah dipertimbangkan secara matang sejak awal. Inkonsistensi ini membuktikan bahwa pemerintah tidak memiliki perencanaan yang jelas, hanya bertindak reaktif tanpa solusi jangka panjang.

Tukin Dosen yang Raib, Bukti Pengabaian terhadap Dunia Pendidikan

Di tengah krisis ekonomi, para dosen ASN di perguruan tinggi menghadapi realitas pahit: tunjangan kinerja (tukin) mereka selama 2020-2024 tidak dibayarkan. Sementara pemerintah berkilah bahwa anggaran tidak tersedia, para akademisi terpaksa mencari pekerjaan sampingan demi menyambung hidup. Ironisnya, di saat yang sama, anggaran untuk proyek-proyek mercusuar tetap digelontorkan tanpa hambatan.

Negara yang gagal menghargai pendidiknya sedang menggali kuburan bagi masa depannya sendiri. Para dosen yang seharusnya fokus mencerdaskan kehidupan bangsa kini malah dipaksa bertahan dalam ketidakpastian. Kegagalan ini semakin membuktikan bahwa pemerintah tidak memiliki prioritas yang jelas dalam mengelola anggaran negara.

PENTOL :  6 Tuntutan dari Rakyat 

Dalam gerakan terbaru ini juga terdapat singkatan "PENTOL" yang berisikan enam tuntutan utama masyarakat kepada pemerintah. Berikut isi tuntutannya:

P = Polisi Diberesin
Masyarakat mendesak pemerintah agar mereformasi Polri. Instansi ini dinilai harus dibenahi secara menyeluruh, mulai dari menghapus imunitas hingga pemberantasan praktik KKN di internal kepolisian.

E = Energi Buat Rakyat
Permasalahan energi, khususnya mengenai subsidi energi, menjadi sorotan utama. Salah satu pemicunya adalah kelangkaan gas LPG 3 Kg yang seharusnya diperuntukkan bagi rakyat kecil.

N = Naikkan Taraf Hidup Rakyat
Kritik terhadap pemotongan anggaran di sektor-sektor vital seperti pendidikan, kesehatan, dan transportasi umum menjadi bagian dari tuntutan ini.

T = Tunaikan Tukin Dosen, Guru, dan ASN
Masyarakat menuntut agar tunjangan kinerja bagi aparatur negara, terutama tenaga pendidik dan ASN, dibayarkan tepat waktu guna menjaga kualitas layanan publik dan pendidikan.

O = Output MBG Diperbaiki
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) perlu diperbaiki dan diawasi agar benar-benar mencapai tujuannya tanpa penyimpangan.

L = Lawan Mafia Tanah dan Lengserkan Pejabat Tol
Tuntutan terakhir menyoroti permasalahan mafia tanah dan buruknya tata kelola infrastruktur yang merugikan masyarakat.

Enam poin tuntutan ini muncul dari berbagai permasalahan yang masih membelit rakyat. Gerakan ini bertujuan agar permasalahan tersebut segera diatasi oleh para pemangku kepentingan.

Ketidakpuasan Masyarakat: Ketika Pemerintah Kehilangan Kendali

Gelombang protes ini bukan sekadar reaksi spontan, melainkan akumulasi dari berbagai kekecewaan yang selama ini terpendam. Tidak adanya oposisi yang efektif di DPR semakin membuat publik merasa kehilangan harapan. Ketika lembaga legislatif tidak lagi berfungsi sebagai alat kontrol, masyarakat mengambil alih peran itu dengan memanfaatkan media sosial sebagai wadah perlawanan.

Simbol Garuda Hitam yang viral bukan sekadar gambar, melainkan peringatan keras bahwa rakyat tidak akan diam ketika hak-haknya diinjak. Pemerintah yang mengabaikan suara rakyat sedang menggali jurangnya sendiri. Jika terus seperti ini, bukan tidak mungkin gelombang digital akan bertransformasi menjadi gerakan nyata di lapangan.

Krisis ini adalah cermin dari kegagalan pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Ketidakmampuan dalam mengelola kebijakan, mengatasi kelangkaan kebutuhan pokok, hingga mengabaikan kesejahteraan tenaga pendidik adalah bukti nyata bahwa bangsa ini sedang menuju jurang ketidakpastian. 'Peringatan Darurat' bukan hanya seruan di media sosial, tetapi alarm keras bagi pemerintah yang semakin kehilangan kepercayaan rakyatnya.

"Ketika kekuasaan dibangun di atas penderitaan, maka sejarah akan menulis namanya dengan tinta kegelapan. Rakyat bukan pion, bukan angka dalam statistik, mereka adalah nyawa yang tak boleh dipermainkan. Negeri ini tak kekurangan cahaya, hanya pemimpin yang kurang membuka mata dan hatinya."


Muhammad Abyan Dafi - Kepala Divisi Redaksi 

Post a Comment

0 Comments