Keputusan Sembrono di Tengah Efisiensi Anggaran Prabowo

Pelantikan Deddy Corbuzier sebagai stafsus kemenhan. Foto: Berita Antara


Tindakan Menhan melantik Deddy Corbuzier sebagai stafsus kemenhan bidang komunikasi sosial dan publik tidak etis. 

Karena dilakukan saat Presiden Prabowo menerapkan kebijakan efisiensi anggaran untuk kementerian dan lembaga di Indonesia.

Terlebih kebijakan efisiensi anggaran ini berdampak pula pada banyaknya honorer di kementerian dan lembaga lain harus dirumahkan. 


Efisiensi anggaran yang sebelumnya diinstruksikan Prabowo sebesar Rp 306,69 triliun kemudian dipertanyakan. 

Alasan kemenhan menunjuk Deddy Corbuzier tentu tak masuk akal. Deddy diangkat hanya karena memiliki pengaruh yang luas. 

Penunjukkan yang tak tepat ini bahkan akan menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan. 

Fenomena anti-kritik yang dilakukan oleh Deddy soal makan siang gratis beberapa waktu lalu telah menggambarkan semakin lemahnya peluang kebebasan berpendapat bagi publik. 

Fenomena ini juga sekaligus menunjukkan masih menjamurnya bagi-bagi kue kekuasaan yang dilakukan oleh pejabat publik tanah air.

Mereka tanpa malu menjilat tubuh penguasa itu. 

Semua dilakukannya hanya demi kekuasaan. 

PELANTIKAN Deddy Corbuzier di tengah efisiensi anggaran merupakan keputusan yang 'sembrono'. 

Prabowo justru banyak memangkas berbagai sektor yang krusial. 

Salah satunya adalah sektor pendidikan yang ikut menjadi korban efisiensi anggaran. Bayangkan saja, sebanyak 39 persen atau hanya tersisa 35,1 trilun anggaran pendidikan berhasil ia pangkas. Bahkan, program riset termasuk di antaranya. 

Akibatnya, tentu pemotongan ini akan mengurangi kualitas pendidikan. Padahal banyak fasilitas yang belum memadai dan kesejahteraan guru yang sangat memprihatinkan.

Pemotongan kualitas pendidikan juga akan menyebabkan kualitas siswa Indonesia menurun. Kajian PISA menyebutkan bahwa kemampuan siswa Indonesia dalam membaca mengalami penurunan karena rendahkan anggaran pendidikan. 

Bagi Prabowo, justru program Makan Bergizi Gratis (MBG) bagi anak Indonesia adalah harga mati. 

Namun, Prabowo lupa bahwa banyak anak Indonesia lebih membutuhkan pendidikan gratis. 

Lain daripada itu, Prabowo juga seolah lupa bahwa program MBG tersebut nyatanya harus mengorbankan kesejahteraan dosen yang insentifnya dihapus dan membuat gaji para guru harus dikurangi. 

Anak-anak Indonesia akhirnya makan siang dengan penuh gizi, sementara pendidiknya harus mengalami kekurangan gizi. 

Kenyataan ini tentu membuat rakyat bertanya. 

"Rakyat mana yang akhirnya Presiden Prabowo kepentingkan?"



Yogie Alwaton - Pemimpin Umum Kanal Perspektif

Post a Comment

0 Comments