Kelas Menengah Terancam Turun Kasta, Sinyal Krisis Kian Nyata?

Perjuangan kelas menengah di kereta. Foto: merdeka.com

Indonesia sedang menghadapi fenomena yang mengkhawatirkan: kelas menengah yang semakin merosot. Penurunan jumlah kelas menengah bukan sekadar angka di atas kertas, tetapi realitas yang semakin terasa di kehidupan sehari-hari. Jutaan orang yang dulunya berada di kategori ini kini turun kasta akibat tekanan ekonomi yang semakin berat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kelas menengah turun drastis dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta orang pada 2024. Itu berarti ada 9,48 juta orang yang jatuh ke kelas ekonomi lebih rendah. Angka ini cukup untuk menjadi alarm bagi pemerintah, khususnya kabinet Prabowo-Gibran yang baru saja terbentuk.

Tekanan Ekonomi dan Melemahnya Daya Beli

Penurunan daya beli masyarakat menjadi indikator utama permasalahan ini. Kelas menengah yang seharusnya menjadi motor penggerak konsumsi justru mengalami tekanan akibat kebijakan yang kurang berpihak pada mereka. Beberapa faktor utama yang menjadi pemicu adalah kenaikan pajak, kebijakan omnibus law yang lebih menguntungkan korporasi dibanding pekerja, serta gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor, mulai dari manufaktur, tekstil, hingga teknologi.

Ekonom dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Teuku Riefky, menyoroti bahwa kebijakan ekonomi Prabowo-Gibran sejauh ini belum menyentuh akar permasalahan. Menurutnya, kebijakan yang ada saat ini justru lebih menguntungkan kelompok ekonomi atas dan memperlebar kesenjangan sosial. “Ada dua isu utama, yaitu produktivitas masyarakat yang menurun dan kesenjangan yang semakin lebar. Artinya, kebijakan ekonomi yang inklusif belum terjadi. Ini bukan hanya masalah di era Prabowo, tetapi dampaknya semakin nyata saat ini,” ungkapnya dalam wawancara dengan VOA.

Sejauh ini, pemerintah masih berfokus pada program unggulan Makan Bergizi Gratis (MBG), yang meskipun baik untuk ketahanan pangan, belum menyasar akar masalah seperti penciptaan lapangan kerja berkualitas atau peningkatan daya beli masyarakat. Kebijakan ini terlihat lebih sebagai program populis ketimbang solusi ekonomi yang berdampak luas. Padahal, tantangan utama yang harus dihadapi Prabowo-Gibran adalah bagaimana menciptakan lapangan kerja dengan nilai tambah tinggi.

Saat ini, yang terjadi justru sebaliknya. Lapangan kerja berkualitas semakin menurun, sementara PHK massal terus terjadi. Dalam beberapa bulan terakhir, sektor padat karya mengalami guncangan besar. Industri tekstil yang selama ini menyerap banyak tenaga kerja mengalami perlambatan, begitu pula dengan manufaktur dan sektor teknologi. Alih-alih membuka lapangan kerja baru, perusahaan-perusahaan justru mengurangi jumlah karyawan mereka.

Dari sisi indikator ekonomi, performa Indonesia juga tidak terlalu menggembirakan. Tren imbal hasil surat utang pemerintah menunjukkan penurunan yang signifikan, performa Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun 5,82 persen dalam tiga bulan terakhir, serta pelemahan daya beli yang berkelanjutan menjadi sinyal merah bagi tim ekonomi kabinet Prabowo-Gibran. Jika kondisi ini terus berlanjut, maka dampaknya akan semakin luas, dan bukan tidak mungkin jumlah kelas menengah yang turun kasta akan semakin bertambah.

Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah koordinasi antar kementerian terkait di kabinet Prabowo yang terkesan belum solid. Beberapa kebijakan yang diambil terkesan tidak memiliki arah yang jelas dan cenderung merugikan masyarakat kelas menengah. Salah satu contoh adalah regulasi perpajakan yang membebani pelaku usaha kecil-menengah, sementara insentif lebih banyak diberikan kepada perusahaan besar. Selain itu, kebijakan ketenagakerjaan yang tidak berpihak pada buruh semakin memperparah kondisi pasar tenaga kerja. Prabowo sebagai presiden seharusnya segera mengevaluasi kinerja para menterinya, apakah kebijakan mereka layak dipertahankan atau perlu dilakukan reshuffle demi menyelamatkan perekonomian Indonesia.

Tawaran Solusi

Lalu, apa yang seharusnya dilakukan pemerintah untuk mengatasi permasalahan ini? Untuk mengatasi penurunan kelas menengah dan daya beli masyarakat, pemerintah harus mengubah arah kebijakan ekonominya secara lebih strategis. Fokus investasi perlu dialihkan ke sektor-sektor produktif yang mampu menciptakan lapangan kerja berkualitas, bukan hanya proyek infrastruktur besar yang manfaatnya baru terasa dalam jangka panjang. Dengan demikian, masyarakat dapat merasakan dampak langsung dari investasi yang dilakukan.

Selain itu, kebijakan perpajakan juga perlu dievaluasi agar lebih berimbang. Pajak yang terlalu tinggi bagi kelas menengah justru memperburuk daya beli dan menurunkan konsumsi domestik. Oleh karena itu, pemerintah harus mempertimbangkan pemberian insentif bagi pelaku usaha kecil dan menengah agar mereka dapat bertahan dan berkembang di tengah kondisi ekonomi yang sulit.

Pemerintah juga harus menciptakan lebih banyak lapangan kerja bernilai tambah tinggi dengan mendorong industri berbasis teknologi dan inovasi. Langkah ini penting untuk memastikan bahwa masyarakat tidak hanya mendapatkan pekerjaan, tetapi juga memiliki prospek jangka panjang yang lebih stabil. Selain itu, program bantuan sosial perlu diperkuat dengan tidak hanya berbentuk subsidi makanan, tetapi juga mencakup pelatihan keterampilan dan peningkatan kapasitas tenaga kerja agar mereka memiliki daya saing di pasar kerja.

Koordinasi antar kementerian juga menjadi aspek krusial yang harus diperbaiki. Presiden Prabowo harus memastikan bahwa kebijakan yang diambil oleh para menterinya tidak saling bertentangan dan memiliki visi yang jelas untuk pemulihan ekonomi. Keputusan ekonomi yang tidak terkoordinasi dengan baik hanya akan memperburuk ketidakpastian dan menghambat pemulihan yang seharusnya dapat berjalan lebih efektif.

Jika langkah-langkah ini tidak segera diambil, maka krisis kelas menengah akan semakin parah dan berdampak pada stabilitas ekonomi secara keseluruhan. Prabowo-Gibran harus menunjukkan kepemimpinan yang kuat dengan kebijakan yang berpihak kepada masyarakat luas, bukan hanya elite ekonomi.

Sumber:

Badan Pusat Statistik (BPS), 2024. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat FEB UI. Wawancara Teuku Riefky dengan VOA, 2024 ” Pengamat: 100 Hari Menjabat, Kinerja Prabowo-Gibran Belum Maksimal”.


Post a Comment

0 Comments