Damkar: Penyelamat yang Masih Belum Selamat

2 unit truk pemadam kebakaran UPT PB Kota Bandung yang sedang terparkir. Foto: Rangga Ichsan


Rintik hujan mulai membasahi jalanan Kota Bandung, begitu pula Markas Dinas Kebakaran dan Penanggulangan Bencana. Gunawan Suryadi duduk dengan senyuman kecil. Namun, di balik raut wajahnya yang begitu tegas, terekam cerita dua dekade pengabdian sebagai seorang pemadam kebakaran. Kini dirinya menjabat sebagai Wakil Komandan Peleton 2.

“Damkar itu bukan pekerjaan biasa,” ujarnya sambil menggenggam erat tangannya. “Damkar itu pekerjaan yang sifatnya sosial. Kita bertemu banyak orang, membantu mereka di saat-saat tersulit. Itu kebanggaan bagi saya.”

Namun, nyatanya jalan menjadi seorang damkar bukanlah rencana hidup pria berusia 47 tahun tersebut. “Pada awalnya saya tidak ada niatan untuk menjadi damkar. Kebetulan ada panggilan, bukan jurusan saya juga sebetulnya. Tapi ketika saya menjalani ternyata betah,” tutur Gunawan.

Dirinya merasa bekerja sebagai pemadam kebakaran dipenuhi oleh berbagai macam tantangan yang selalu memberikan pengalaman baru.

Tugas yang tak biasa

Gunawan menjelaskan bahwa tugas pemadam kebakaran tidak hanya memadamkan api, tapi ada pula tugas rescue (penyelamatan) dan pemberdayaan sekaligus edukasi kepada masyarakat. Selama dua dekade bekerja sebagai pemadam kebakaran, dirinya mengatakan bahwa kejadian unik banyak terjadi di misi penyelamatan.

Salah satunya adalah ketika seseorang mendatangi markas dengan tangannya yang terjebak pada lubang kursi plastik. “Ada orang tangannya masuk ke lubang kursi plastik, ternyata nggak bisa keluar. Akhirnya dia ke sini naik ojek sambil bawa kursinya,” tuturnya sambil terkekeh.

Wakil Komandan Peleton tersebut menjelaskan bahwa misi penyelamatan tidak membutuhkan waktu yang lama. “Sebetulnya proses rescue nggak lama, paling cepat 5 menit karena kita punya peralatan yang banyak. Justru yang membuat lama adalah perjalanan menuju lokasi.” 

Tidak semua misi berakhir dengan canda dan tawa namun ada juga yang berakhir dengan menetesnya air mata. Ada situasi di mana kebakaran terlanjur terjadi, sehingga ada korban yang tak terselamatkan. 

Foto: Halaman depan kantor pemadan kebakaran Kota Bandung. (Rangga Ichsan)

“Ada orang yang menghirup asap dan pada saat itu hampir sekarat, tentu kita juga merasa sedih ketika di momen itu,” dirinya menjelaskan dengan mata yang berkaca-kaca. 

“Kalau saya perhatikan, (misi) kebakaran lebih banyak sisi sedihnya.” tutup Gunawan.

Harga sebuah pengabdian

Bekerja sebagai pemadam kebakaran sudah dipastikan bertaruh dengan nyawa. Namun mirisnya pekerjaan yang dijalani tak sebanding dengan bayaran yang diterima. “Untuk saat ini, nilai yang kita dapat memang kurang. Kebanyakan dari kita juga mencari sampingan di luar, sebagian ada yang menjadi driver (ojek) online. Bahkan saya sendiri, dulu sempat menjadi wasit sepak bola saat masih di posisi operator,” jelas Gunawan.

Sistem kerja yang ada pun menuntut pengorbanan ekstra yang mengharuskan mereka masuk di hari-hari besar, “Kami kerja 24 jam penuh, lalu istirahat dua hari. Tapi istirahat itu bukan libur, karena kita tetap siaga. Bahkan lebaran aja kita tetap masuk,” tegas Gunawan.

Foto: Truk pemadam kebaran. (Rangga Ichsan)

Tantangan pekerjaan yang berat ditambah dengan keadaan yang mengharuskan mereka untuk siaga setiap waktu, membuat Gunawan kehilangan waktu untuk keluarga di rumah. “Dulu ketika saya punya anak pertama, saya titipkan (anaknya) di penitipan anak, tapi alhamdulillah masih ada waktu di rumah buat anak-anak.” Namun terkadang dirinya merasa sedih karena tidak bisa berada di rumah ketika hari Sabtu dan Minggu karena harus piket.

Menjadi “Penyelamat yang Belum Selamat”

Ironi, julukan “Penyelamat yang Belum Selamat” melekat erat pada petugas damkar. Bahwa tugas dari seorang pemadam kebakaran haruslah menyelamatkan masyarakat, tetapi nahasnya sang penyelamat justru belum banyak diperhatikan. 

Febrian Nugraha, mahasiswa Politeknik Bandung, menganggap bahwa pemadam kebakaran merupakan sosok pahlawan sejati. “Pemadam kebakaran telah menyelamatkan banyak jiwa, namun sekiranya pemadam kebakaran masih kurang perhatian dari pemerintah itu sendiri. Kurangnya fasilitas sehingga menghambat kinerja mereka,” ujarnya penuh simpati.

Seorang pedagang yang pernah mengalami kebakaran di daerah Sukapura, Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, justru menganggap bahwa pemadam kebakaran tidak cepat tanggap karena tidak meratanya sebaran UPT (Unit Pelaksana Teknis) yang ada di Bandung.

Dirinya pun menambahkan, “Harapan dari para pedagang sih, tiap-tiap pujasera bisa disediakan APAR (Alat Pemadam Api Ringan), jadi selama menunggu pemadam kebakaran, kita bisa menggunakan APAR tersebut.”

Mahasiswa Universitas Pradita, Fabian Faturrahman, mengutarakan pendapatnya terkait jasa pemadam kebakaran yang seringkali tidak terlihat dan cenderung dipandang sebelah mata.

“Pemadam kebakaran itu profesi yang risikonya tinggi, walaupun tugas utamanya terikat dengan kasus kebakaran, namun mereka bisa buat mengamankan situasi tertentu di luar kebakaran.”

Fabian meneruskan, “Dengan melihat tugas berat pemadam kebakaran, para personel harus tangguh dari segi fisik dan mental.”

Gunawan sendiri menganggap bahwa istilah tersebut memang mewakili realita pekerjaan mereka saat ini, namun dirinya tak ingin banyak menuntut. “Kita berpikir ya seperti guru lah, jadi pahlawan tanpa tanda jasa. Alhamdulillah kita bekerja secara ikhlas, apapun yang kita dapatkan, apapun yang pemerintah berikan untuk kebutuhan-kebutuhan kami, tetap kami syukuri.”

Harapan sang penyelamat

Walaupun tidak ingin banyak menuntut, Wakil Komandan Peleton itu tetap mengharapkan bantuan dari pemerintah untuk dapat lebih memperhatikan hak-hak pekerja bagi pemadam kebakaran, “Jadi pesan kami untuk pemerintah, tolong diperhatikan lagi untuk pemadam kebakaran, dari segi kesejahteraan dan kesehatan, karena pekerjaan kita mengandung banyak risiko yang tinggi, terlebih pekerjaan kami tidak ada hari libur,” ucapnya. 

Tak sampai di situ, Gunawan pun memberi pesan kepada masyarakat, “Perlu dipahami, bahwa kami bukan superman. Kami juga butuh respons dari masyarakat, kalau ada kebakaran sekecil apapun itu, telepon saja pemadam kebakaran sebelum api membesar,” ujarnya secara tegas. 

Di tengah segala keterbatasan, semangat petugas kebakaran tetap menyala. Mereka adalah bukti nyata dari “dedikasi.” Menjadi garda terdepan, meski belum sepenuhnya selamat dari tantangan kehidupan.

Mereka hadir di tengah-tengah masyarakat untuk apapun bentuk kendalanya. Seperti sosok Gunawan Suryadi, dirinya bekerja bukan hanya dengan tenaga, namun juga loyalitas dan ketulusan sebagai seorang penyelamat.


Tim penulis:

Rafael Attarizqi Rassya Trilesmana

Rafid Dhiyaulhaq Ramadhan

Rangga Ichsan Pratama

Galuh Setya Pratama

Mochammad Zevano Danendra

Rayhan Rizky Fajar

Rommy Zacky Ibrahim

Muhammad Ramadhana Rusfindiansyah

Ryandro Prayoga Daromi


Post a Comment

0 Comments