Rasio
Pajak: Jalan Panjang Menuju Kesetaraan?
Pemerintah menjadikan rendahnya rasio
pajak Indonesia—yang kini berada di angka 10,4 persen—sebagai alasan utama di
balik kenaikan tarif PPN. Dibandingkan dengan negara lain seperti Brasil (rasio
pajak 24,67 persen) atau Afrika Selatan (21,4 persen), Indonesia memang terlihat
tertinggal. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan bahwa kebijakan
ini diharapkan mampu membawa Indonesia lebih dekat pada standar internasional,
yang idealnya berada di atas 15 persen.
Namun, pertanyaan besar muncul: apakah
kenaikan pajak ini benar-benar akan membantu memperbaiki rasio pajak tanpa
menambah beban masyarakat bawah?
Dr. Aditya Mahendra, seorang ekonom,
mengingatkan bahwa rendahnya rasio pajak Indonesia lebih disebabkan oleh
sempitnya basis pajak dan lemahnya kepatuhan wajib pajak.
"Bukan hanya tarifnya,
sistem perpajakan kita membutuhkan reformasi mendalam agar lebih adil dan
inklusif," ujarnya.
Beban Baru di Tengah Keresahan Ekonomi
Kebijakan ini
mendapat penolakan luas dari masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah.
Rishard Asyari, inisiator petisi penolakan kenaikan PPN, menyoroti bahwa
kebijakan ini berpotensi memperburuk daya beli masyarakat.
“Masyarakat kelas
bawah sudah kesulitan memenuhi kebutuhan pokok. Tambahan 1 persen tarif PPN ini
bisa menjadi pukulan telak bagi mereka,” ungkapnya.
Contoh nyata keresahan ini
tampak dalam diskusi mengenai harga minyak yang tetap tinggi meskipun ada
kebijakan penurunan pajak tertentu. Masyarakat menilai bahwa dampak kebijakan
ini tidak sesuai dengan janji yang disampaikan pemerintah.
Antara Janji dan
Realita
Salah satu titik lemah kebijakan ini adalah minimnya transparansi dan
komunikasi publik yang jelas. Kategorisasi barang mewah yang akan dikenakan
pajak lebih tinggi, misalnya, masih menimbulkan kebingungan. Banyak masyarakat
yang merasa tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, sehingga
kebijakan ini dianggap sepihak dan memunculkan kesan meminggirkan suara rakyat
kecil.
Hendra Wijaya, seorang aktivis ekonomi kerakyatan, menilai bahwa
pemerintah gagal memberikan penjelasan yang memadai.
“Masyarakat perlu tahu
bagaimana kebijakan ini akan menguntungkan mereka. Tapi sejauh ini, yang
terlihat hanya beban baru tanpa ada solusi konkret,” tegasnya.
Dampak Sosial dan
Potensi Ketidakstabilan
Tidak hanya berdampak pada perekonomian, kebijakan ini
juga memicu kekhawatiran akan potensi masalah sosial yang lebih besar. Penurunan
daya beli masyarakat bisa memengaruhi stabilitas sosial, bahkan meningkatkan
angka kriminalitas.
“Ketika masyarakat tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar
mereka, rasa frustrasi akan tumbuh, dan ini dapat berujung pada keresahan
sosial,” ungkap Dr. Putri Anindya, seorang sosiolog dari Universitas Gadjah
Mada.
Harapan untuk Kebijakan yang Lebih Berkeadilan
Kenaikan tarif PPN menjadi
12 persen mencerminkan upaya pemerintah untuk memperbaiki kinerja fiskal. Namun,
kebijakan ini tidak akan efektif tanpa langkah-langkah mitigasi yang jelas,
seperti insentif untuk usaha kecil menengah (UKM) atau penghapusan pajak bagi
kelompok masyarakat tertentu.
Masyarakat berharap pemerintah mampu mendengar
suara mereka dan memperbaiki proses komunikasi kebijakan. Transparansi, dialog
publik, dan pengelolaan yang bijak diperlukan agar kebijakan ini tidak hanya
menjadi beban, tetapi juga benar-benar memberikan manfaat jangka panjang.
Pada
akhirnya, kebijakan fiskal yang baik adalah kebijakan yang adil. Pemerintah
harus memastikan bahwa janji pembangunan tidak menjadi beban baru yang
menghimpit rakyat kecil. Masyarakat Indonesia membutuhkan bukti nyata, bukan
hanya retorika optimisme tanpa dasar yang jelas.
0 Comments