Kenaikan Pajak 12% : Janji Pembangunan atau Beban Baru bagi Rakyat?


Sumber : BBC Indonesia


Kebijakan pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025 telah menimbulkan polemik tajam di masyarakat. Meski diklaim sebagai langkah strategis untuk meningkatkan rasio pajak dan mendukung pembangunan, kebijakan ini memantik perdebatan hangat antara pemerintah, DPR, dan publik. Seperti halnya kebijakan lain yang membawa janji besar, kenaikan PPN ini juga menyisakan keresahan yang tidak sedikit. 

Rasio Pajak: Jalan Panjang Menuju Kesetaraan? 

Pemerintah menjadikan rendahnya rasio pajak Indonesia—yang kini berada di angka 10,4 persen—sebagai alasan utama di balik kenaikan tarif PPN. Dibandingkan dengan negara lain seperti Brasil (rasio pajak 24,67 persen) atau Afrika Selatan (21,4 persen), Indonesia memang terlihat tertinggal. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan bahwa kebijakan ini diharapkan mampu membawa Indonesia lebih dekat pada standar internasional, yang idealnya berada di atas 15 persen. 

Namun, pertanyaan besar muncul: apakah kenaikan pajak ini benar-benar akan membantu memperbaiki rasio pajak tanpa menambah beban masyarakat bawah? 

Dr. Aditya Mahendra, seorang ekonom, mengingatkan bahwa rendahnya rasio pajak Indonesia lebih disebabkan oleh sempitnya basis pajak dan lemahnya kepatuhan wajib pajak. 

"Bukan hanya tarifnya, sistem perpajakan kita membutuhkan reformasi mendalam agar lebih adil dan inklusif," ujarnya. 

Beban Baru di Tengah Keresahan Ekonomi 

Kebijakan ini mendapat penolakan luas dari masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah. Rishard Asyari, inisiator petisi penolakan kenaikan PPN, menyoroti bahwa kebijakan ini berpotensi memperburuk daya beli masyarakat. 

“Masyarakat kelas bawah sudah kesulitan memenuhi kebutuhan pokok. Tambahan 1 persen tarif PPN ini bisa menjadi pukulan telak bagi mereka,” ungkapnya. 

Contoh nyata keresahan ini tampak dalam diskusi mengenai harga minyak yang tetap tinggi meskipun ada kebijakan penurunan pajak tertentu. Masyarakat menilai bahwa dampak kebijakan ini tidak sesuai dengan janji yang disampaikan pemerintah. 

Antara Janji dan Realita 

Salah satu titik lemah kebijakan ini adalah minimnya transparansi dan komunikasi publik yang jelas. Kategorisasi barang mewah yang akan dikenakan pajak lebih tinggi, misalnya, masih menimbulkan kebingungan. Banyak masyarakat yang merasa tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, sehingga kebijakan ini dianggap sepihak dan memunculkan kesan meminggirkan suara rakyat kecil.

Hendra Wijaya, seorang aktivis ekonomi kerakyatan, menilai bahwa pemerintah gagal memberikan penjelasan yang memadai. 

“Masyarakat perlu tahu bagaimana kebijakan ini akan menguntungkan mereka. Tapi sejauh ini, yang terlihat hanya beban baru tanpa ada solusi konkret,” tegasnya. 

Dampak Sosial dan Potensi Ketidakstabilan 

Tidak hanya berdampak pada perekonomian, kebijakan ini juga memicu kekhawatiran akan potensi masalah sosial yang lebih besar. Penurunan daya beli masyarakat bisa memengaruhi stabilitas sosial, bahkan meningkatkan angka kriminalitas. 

“Ketika masyarakat tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka, rasa frustrasi akan tumbuh, dan ini dapat berujung pada keresahan sosial,” ungkap Dr. Putri Anindya, seorang sosiolog dari Universitas Gadjah Mada. 

Harapan untuk Kebijakan yang Lebih Berkeadilan 

Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen mencerminkan upaya pemerintah untuk memperbaiki kinerja fiskal. Namun, kebijakan ini tidak akan efektif tanpa langkah-langkah mitigasi yang jelas, seperti insentif untuk usaha kecil menengah (UKM) atau penghapusan pajak bagi kelompok masyarakat tertentu. 

Masyarakat berharap pemerintah mampu mendengar suara mereka dan memperbaiki proses komunikasi kebijakan. Transparansi, dialog publik, dan pengelolaan yang bijak diperlukan agar kebijakan ini tidak hanya menjadi beban, tetapi juga benar-benar memberikan manfaat jangka panjang. 

Pada akhirnya, kebijakan fiskal yang baik adalah kebijakan yang adil. Pemerintah harus memastikan bahwa janji pembangunan tidak menjadi beban baru yang menghimpit rakyat kecil. Masyarakat Indonesia membutuhkan bukti nyata, bukan hanya retorika optimisme tanpa dasar yang jelas.

Post a Comment

0 Comments