Upaya Pengawalan Terhadap Keputusan MK

Kawal putusan MK. Sumber foto: Dok pribadi


Mahkamah Konstitusi (MK) merubah aturan dalam UU Pilkada soal syarat partai politik untuk mengusung calon kepala daerah dengan memutuskan ambang batas pencalonan kepala daerah yang sebelumnya sebesar 25 persen suara atau 20 persen kursi partai politik atau gabungan partai politik hasil Pileg DPRD. 

Dalam putusannya, MK memutuskan pencalonan gubernur DKI Jakarta hanya membutuhkan 7,5 persen suara pada pemilihan legislatif atau pileg sebelumnya.

Saat ini, pada Pilgub DKI Jakarta, hanya PDIP yang belum bisa mengusung calon. Ini karena PDIP hanya memiliki 15 kursi atau kurang 7 kursi untuk memenuhi syarat 20 persen parliamentary threshold. Dengan putusan terbaru MK, PDIP bisa mengusung kandidat sendiri. Dan partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD tetapi memperoleh suara sah juga tetap bisa mencalonkan kepada daerah. 

Implikasi dari putusan ini jelas, keputusan MK akan membuat demokrasi menjadi lebih luas. Pemilih pun akan memiliki banyak opsi dalam memilih kepala daerahnya. 

Nafas segar demokrasi dari putusan MK 

Sebelumnya, konstelasi politik cenderung stagnan. Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mendukung Prabowo-Gibran pada pilpres 2024 lalu telah memborong semua dukungan partai politik untuk mendukung Ridwan Kamil pada Pilgub DKI Jakarta. Tak ada lagi parpol tersisa. 

Partai Nasdem memiliki kader yang diancam kasus korupsi apabila tidak bergabung ke KIM, 

Cak Imin (Ketua Umum PKB) diancam lengser dari posisinya karena konflik dengan PBNU,

Sementara PKS akan mendapat kue kekuasaan dengan ditawari kursi cawagub mendampingi Ridwan Kamil. 

Alhasil, semuanya beralih mendukung Ridwan Kamil dalam koalisi gemuk KIM Plus (sebutan parpol gabungan pendukung RK di Pilkada DKI). 

Upaya penjegalan terhadap Anies Baswedan dalam perebutan kursi Gubernur DKI Jakarta seakan nampak begitu kentara. Ini karena hanya PDI-P yang tersisa. 

Dengan adanya putusan MK tentang ambang batas pencalonan kepala daerah, tentu demokrasi terbuka luas. 

Ridwan Kamil dengan demikian, terancam gagal melawan kotak kosong. 

Karpet merah Kaesang kini dipenuhi paku tajam

Selain itu, dari putusan ini, MK juga menegaskan syarat usia minimal calon kepala daerah harus terpenuhi sejak KPU menetapkan pasangan calon bukan sejak pelantikan calon terpilih. Keputusan MK ini menganulir putusan Mahkamah Agung yang mensyaratkan usia paslon dipenuhi saat pelantikan. Adapun syarat minimal usia calon adalah 30 tahun untuk cagub atau  cawagub. Artinya jika ada calon yang usianya belum 30 tahun saat penetapan paslon oleh KPU maka menurut MK pencalonannya tidak sah. 

Banyak yang mengaitkan putusan MK dengan putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep. Ia seakan mendapat karpet merah dari keputusan MA sebelumnya. Tetapi, dengan hasil putusan MK, Kaesang tentu tak dapat berbuat banyak. Jalannya akan tertutup. Karpet merah itu akan dipenuhi paku tajam. Ia bakal berusia 30 tahun saat pelantikan gubernur. 

DPR dan upaya menganulir putusan MK

Namun, tepat sehari setelah penetapan keputusan MK, badan legislasi atau baleg DPR akan menggelar rapat untuk mengembalikan aturan ambang batas pilkada. Putusan DPR juga justru akan dapat menganulir putusan MK. 

Sederhananya, dari pembahasan rapat DPR hari ini, aturan itu bakal kembali ke aturan semula. Partai politik dengan demikian tidak dapat maju sendiri tanpa berkoalisi, sementara Kaesang bisa saja maju di Pilkada. 

Ini tentu akan menutup ruang demokrasi itu. 

Pada akhirnya, pilkada 2024 akan hanya dipenuhi cara-cara licik untuk memuaskan dahaga kekuasaan politisi kita. 

Untuk menandinginya, publik harus mengawal upaya kotor ini. Dengan begitu, ruang demokrasi akan terbuka seluas-luasnya.

Post a Comment

0 Comments