Lagi-Lagi Selebriti, Apa Kabar dengan Kader Partai?

 


Deretan Selebriti Yang Maju pada Pilkada 2024.


Kasus-kasus yang melibatkan figur publik dalam dunia politik Indonesia mencerminkan tantangan besar dalam sistem politik. Salah satu fenomena yang mencolok adalah kecenderungan partai politik untuk ‘merekrut’ selebriti sebagai calon legislatif. Fenomena ini dapat menunjukkan ketidakmampuan partai politik dalam menjalankan program pengkaderan yang berkualitas.

Mencari “Vote Getter”?

Dr. Panji Suminar, pakar politik sekaligus akademikus Universitas Bengkulu menyebut bahwa langkah partai politik yang merekrut artis lebih kepada upaya untuk meraup suara, bukan berdasarkan kapasitas calon yang diusung.

"Meski tidak menafikan bahwa ada artis yang memiliki kapasitas menjadi politikus, namun yang terlihat banyak yang sebenarnya belum punya kapasitas. Dan mereka direkrut lebih kepada vote getter atau pengumpul suara," ucapnya.

Upaya partai politik menempatkan publik figur maupun artis dalam daftar calon legislatif mereka, lanjut Panji. Hal itu menunjukkan bahwa kader-kader yang dimiliki parpol tidak punya kemampuan sebagai pengumpul suara. Partai politik tampaknya lebih mementingkan popularitas dan daya tarik selebriti dibandingkan membangun kader yang kompeten dan berkualitas.

"Saya memandang ini menunjukkan ketidakmampuan kaderisasi partai untuk menciptakan kader yang bisa mempengaruhi atau yang bisa mengumpulkan suara banyak dan diakui oleh masyarakat perannya. Kalau ada kader yang terkenal seperti itu tentu parpol tidak memerlukan artis untuk diusung sebagai calon legislatif," lanjut nya.

Popularitas vs Kualitas

Fenomena ini tampak semakin nyata dengan langkah-langkah yang diambil oleh berbagai partai politik. Pada Pemilu 2024, banyak artis yang diusung sebagai calon legislatif oleh berbagai partai, termasuk PDIP, PAN, dan juga Demokrat. Belakangan ini, menjelang Pilkada 2024 daftar artis yang maju di Pilkada 2024 menjadi sorotan publik, nama nama seperti Ronal Surapradja, Lucky Hakim, Jeje Govinda, Desy Ratnasari dan Marshel Widianto menunjukkan bahwa partai-partai besar cenderung mengandalkan popularitas selebriti untuk meraih suara.

Dalam dunia politik, popularitas memang penting, tetapi seharusnya bukan satu-satunya faktor penentu. Kasus komika Marshel Widianto, yang maju sebagai calon wakil wali kota Tangerang Selatan, adalah contoh bagaimana selebriti berusaha memasuki dunia politik dengan modal popularitas. Meskipun Marshel memiliki niat baik untuk mendobrak kemiskinan dan membantu masyarakat, ada pertanyaan besar tentang kapasitas dan kompetensinya sebagai politisi.

Pandji Pragiwaksono, sesama komika yang juga terlibat dalam dunia politik, mengkritik langkah Marshel. Marshel sendiri mengakui bahwa dirinya tidak seberuntung Pandji dan merasa bahwa stand-up comedy adalah jalan baginya untuk didengar. Marshel berharap bisa menularkan semangat juangnya kepada masyarakat Tangerang Selatan.

Namun, kritik terhadap Marshel menunjukkan bahwa popularitas tidak selalu sejalan dengan kapasitas untuk memimpin. Warganet juga menyoroti keengganan Marshel untuk menghadapi kritik dari Pandji Pragiwaksono sebagai tanda ketidakmatangan politiknya.

Masifnya dukungan kepada selebriti seperti Marshel Widianto, yang maju sebagai calon wakil wali kota Tangerang Selatan, menunjukkan bagaimana popularitas lebih diutamakan daripada kualitas. Marshel yang dikenal sebagai komika dan selebriti, menggunakan latar belakang kehidupannya yang berjuang lepas dari kemiskinan untuk mendobrak kemiskinan di Tangerang Selatan. Namun, kritik muncul ketika Marshel dinilai tidak cukup layak apabila menghadapi satu orang seperti Pandji Pragiwaksono saja menghindar.

Langkah partai politik merekrut selebriti sebagai calon legislatif ini tidak lepas dari kritik tajam. Fenomena ini dianggap sebagai bukti bahwa partai lebih mementingkan popularitas daripada kader yang berkualitas. Karena, jika dipikir menggunakan akal sehat, kalau ada kader yang berkualitas dan terkenal seperti itu tentu parpol tidak memerlukan artis untuk diusung sebagai calon legislatif.

Realitas politik menunjukkan bahwa partai politik sering kali mengambil jalan pintas dengan merekrut selebriti untuk meraih suara. Ini menimbulkan pertanyaan tentang komitmen partai dalam membina kader yang benar-benar berkualitas dan memiliki kapasitas memimpin.

Fenomena ini juga mencerminkan tantangan dalam sistem politik di Indonesia.

Apakah partai politik benar-benar berkomitmen pada pengaderan yang berkualitas, ataukah mereka lebih mementingkan popularitas jangka pendek demi mendapat kursi?

Di tengah euforia selebriti yang masuk ke dunia politik, muncul pertanyaan yang lebih besar 

Apakah partai politik lebih mementingkan popularitas dibandingkan membangun kader yang berkualitas?

Kami, dan masyarakat tentunya berharap agar proses politik di Indonesia dapat dilakukan dengan integritas dan dedikasi penuh untuk membangun kualitas negara yang lebih baik lagi. Ini adalah ujian nyata bagi sistem politik kita, dan harapannya, partai politik akan lebih berfokus pada pengaderan kader yang berkualitas daripada sekadar mengandalkan popularitas selebriti.

 

Post a Comment

0 Comments