Etos Kerja DIY (Do-It-Yourself) dalam Industri Musik dan Respons Para Pendengar

Musik mainstream vs musik independen, mana lebih baik?
Foto: pexels.com

Gelombang musik mainstream yang merajalela memungkinkan timbulnya kebiasaan ‘malas’ oleh para penikmat musik untuk lebih jauh menelusuri karya dari beberapa seniman musik independen. Mungkin irama familiar milik Coldplay, Taylor Swift, hingga Bruno Mars terasa jauh lebih mudah diterima oleh gendang telinga pendengar. Namun sesekali Anda perlu menikmati lantunan ritme karya Tame Impala, Men I Trust, dan The Marias hingga hentakan distorsi yang kencang nan agresif a la IDLES dan Interpol. Beberapa nama kelompok musik independen tersebut layak diberikan apresiasi lebih mengingat proses ide kreatif yang tak kalah brilian dari musik populer mulai dari proses produksi, distribusi hingga pemasaran yang dilakukan secara mandiri alias DIY. Lalu apa sebenarnya definisi DIY dalam industri musik?

Apa itu DIY?

Secara harfiah, DIY adalah kerajinan yang dilakukan secara mandiri dan mengarah pada membuat atau merakit sendiri tanpa bantuan tenaga ahli atau profesional. [1] DIY merupakan akronim dari Do-It-Yourself  dan didefinisikan sebagai suatu kegiatan membentuk atau membangun suatu produk yang dalam industri musik adalah sebuah karya musik baik itu album maupun single dan dilakukan secara mandiri tanpa campur tangan label rekaman besar (major label) seperti Sony, Warner, Universal, dll. Namun, kini sejumlah musisi independen justru membentuk label rekamannya sendiri untuk mendistribusikan hasil karyanya sekaligus membangun ekosistem musik independen lebih luas lagi dengan merangkul nama musisi independen lain untuk bergabung di atap label yang sama.

DIY dalam Industri Musik

Tak hanya meliputi bidang pembentukan suatu barang fisik, nyatanya praktik DIY telah merambah ke sektor kesenian, tak terkecuali industri musik, yang notabene produknya adalah sebuah karya seni tak berbentuk seperti materi single dan album. Jika mundur ke belakang, sebenarnya konsep DIY dalam industri musik ini telah diimplementasikan sejak periode tahun 70an, namun hanya penyebutan istilahnya yang berbeda. Awal mula penciptaan sebuah karya musik secara mandiri lahir di lingkungan scene musik punk rock di tanah Britania Raya. Buzzcocks menjadi salah satu pelopor musik DIY dengan memproduksi serta memasarkan EP debutnya yang berjudul “Spiral Scratch” melalui pendanaan secara kolektif oleh anggota band, keluarga serta kerabat. Kala itu konsep DIY bisa disebut sebagai sebuah strategi yang inovatif dan dianggap berhasil lantaran para penggemar menyambut kelahiran EP mereka dengan baik yang ditandai dengan penjualan album yang mencapai ribuan eksemplar. 


Etos kerja seperti ini ternyata berlanjut pada penghujung abad ke-20 dengan maraknya sejumlah band/musisi yang tercatat tidak beratapkan major label seperti band mainstream pada umumnya. Fenomena seperti ini memiliki istilah lain yaitu ‘musik indie’. Selain memiliki kebebasan dalam berkreasi, yang mendasari para musisi indie memproduksi dan mendistribusikan karyanya secara mandiri adalah karena enggan terikat dengan belenggu komersil label rekaman besar dan permintaan pasar yang terus berubah mengikuti pola tren. 


Di Indonesia sendiri, penggarapan musik secara mandiri oleh musisi lumrah terjadi. Merebaknya jumlah musisi indie kenamaan lokal menjadi bukti betapa praktik DIY dalam industri musik tanah air merupakan strategi yang dipercaya mutakhir. Sebut saja seperti Sore, Mocca, Efek Rumah Kaca hingga White Shoes & The Couples Company merupakan sederet nama yang telah malang melintang di industri musik tak beratap dan berhasil membentuk pangsa pasarnya sendiri. Bahkan ERK dalam karyanya berjudul “Biru” yang menyebut bait lirik “Pasar bisa diciptakan” berulang-ulang sehingga tergambarkan jelas sikap kontradiktif mereka terhadap tren pasar seperti identitas musik Indie pada umumnya.

Sambutan Baik dari Penikmat Musik

Berlanjut sampai sekarang, perkembangan musik Indie dinilai melejit diikuti ramainya tren di media sosial yang menjadikan penikmat musik Indie sebagai kalangan eksklusif nan elitis dalam menikmati karya musik sehingga memantik rasa penasaran pendengar baru untuk ikut mendengarkan bahkan membeli rilisan fisik musisi Indie. Hal tersebut berimbas pada angka pendengar musik Indie yang terus merangkak naik di berbagai platform digital. 


Tidak seperti musisi mainstream yang pemasaran produknya dibantu oleh major label, kebanyakan musisi indie melakukan proses pemasaran secara seadanya dan terbatas. Imbas dari hal itu, menimbulkan segmentasi yang terbatas pada karya musisi independen sehingga membentuk perubahan consumer behavior. Tak jarang para konsumen yaitu pendengar harus mampu mengulik karya musisi idolanya lebih dalam lagi. Buah dari hal tersebut, konsep mandiri tertularkan dari musisi hingga ke pendengar sehingga proses menghargai karya musik bisa jauh lebih besar. 


Melihat fenomena etos kerja DIY yang terjadi pada industri musik di zaman sekarang, sepertinya memulai membangun karya secara mandiri bukan pilihan yang buruk. Selagi karya yang dihasilkan memiliki nilai unik dan berbeda, jelas musisi independen memiliki kesempatan yang sama besarnya dengan musisi mainstream naungan major label. Terlebih dengan pergolakan kebiasaan pendengar yang kini jauh lebih dewasa dan bersedia untuk menyelam lebih dalam untuk mengulik karya musisi independen. Semoga dengan kebiasaan ini, penikmat musik mampu memaknai suatu karya musisi dengan lebih sehingga industri musik tanah air terus berkembang dan mampu bersaing di kancah internasional.


Post a Comment

0 Comments