Aksi Massa #KawalPutusanMK di Bandung

FOTO: Poster demonstrasi #KawalPutusanMK di Bandung. (Kanal Perspektif/ Yogie Alwaton

PERINGATAN DARURAT itu berkumandang. Sangat bising, membuat noise, dan memunculkan amarah publik. 

Langit Indonesia 22 Agustus itu terlihat memancarkan warna yang berbeda. 

Ia tak seperti biasanya. Birunya begitu pekat. 

Ternyata, ada sebab ia merubah warnanya seperti itu. 

Karena dari kejauhan, langit Indonesia itu seakan memberikan sinyal sirine berbahaya. 

"Darurat..."

"Siaran Darurat," ia menjerit seakan orang-orang di bawahnya harus mendengar. 

Usut punya usut, langit Indonesia "berwarna biru" itu memiliki arti 'peringatan darurat'.

Foto: Peringatan darurat. (Narasi Newsroom)

Peringatan darurat adalah penggalan dari sebuah video lama yang diunggah oleh akun Youtube EAS Indonesia Concept pada 22 Oktober 2022 lalu. 

EAS Indonesia Concept kerapkali membuat video dengan konsep Emergency Alert System (EAS) yang merupakan sistem peringatan kedaruratan nasional Amerika yang didesain untuk menyebarkan pesan darurat di tengah siaran televisi dan radio. Mereka menggunakan metode EAS untuk membuat video horror fiktif yang dikenal sebagai analog horror. 

Peringatan darurat itulah yang ingin langit isyaratnya. 

Dalam hal ini, langit Indonesia berwarna biru itu ingin memperingatkan bahwa ada peringatan darurat yang mesti publik perhatikan, yakni perihal #KawalPutusanMK

Publik pun sangat mengerti. Mereka kemudian ramai-ramai menerima isyarat itu dan segera  menjadikannya diskusi nasional di dunia maya. 

SEBELUMNYA, Mahkamah Konstitusi (MK) merubah aturan dalam UU Pilkada soal syarat partai politik untuk mengusung calon kepala daerah dengan memutuskan ambang batas pencalonan kepala daerah yang sebelumnya sebesar 25 persen suara atau 20 persen kursi partai politik atau gabungan partai politik hasil Pileg DPRD. 

Dalam putusannya, MK memutuskan pencalonan gubernur DKI Jakarta hanya membutuhkan 7,5 persen suara pada pemilihan legislatif atau pileg sebelumnya. Selain itu, partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD tetapi memperoleh suara sah juga tetap bisa mencalonkan kepada daerah. 

Alhasil, keputusan MK membuat demokrasi menjadi lebih luas. Pemilih pada akhirnya memiliki banyak opsi dalam memilih kepala daerahnya. 

Lain daripada itu, MK juga memutus jalan calon kepala daerah yang belum genap 30 tahun untuk mencalonkan diri.

Namun, sehari setelahnya pada Kamis (22/8/2024), DPR nyatanya mencoba menganulir keputusan MK mengenai ambang batas pencalonan kepala daerah yang mengakibatkan partai politik tidak dapat maju sendiri tanpa berkoalisi, sementara calon kepala daerah yang usianya belum menyentuh 30 tahun bisa maju di Pilkada. 

Demonstrasi massa sebagai respons mengawal keputusan MK

Foto: Aksi massa #KawalPutusanMK. (Kanal Perspektif/ Yogie Alwaton)

Akhirnya, massa tak tinggal diam. Mereka turun ke jalan. Menyampaikan aspirasinya. 

Demonstrasi mahasiswa akhirnya digalakkan di berbagai kota di Indonesia, termasuk di Bandung. 

Mereka menyesalkan perilaku DPR yang berupaya menganulir keputusan MK dengan menutup ruang demokrasi dan mengkerdilkan oposisi. Mereka beranggapan bahwa oposisi telah mati. Dibunuh dan dikebiri oleh penguasa. 

Kamis, 22 Agustus lalu Kanal Perspektif berhasil menemui kalangan pers, mahasiswa, pedagang, hingga pemerhati hukum tata negara untuk menanyai lebih lanjut mengenai keputusan MK yang dianulir DPR tersebut. 

Liputan ini dilakukan melalui daring maupun wawancara secara langsung di Gedung DPRD Jawa Barat pada saat aksi #KawalPutusanMK.

"Ini adalah isu yang panas. RUU Pilkada bisa membuat Kaesang naik di pilkada 2024. Ini tentunya melanggar peraturan dan membuat penyalahgunaan kekuasaan. Apalagi rakyat juga tidak diikutsertakan dalam membahas undang-undang tersebut," ujar Rafish, mewakili pers mahasiswa. 

Diketahui, DPR memang berupaya untuk menganulir keputusan MK mengenai syarat usia minimal calon kepala daerah. Padahal, dalam putusannya MK sudah menegaskan bahwa syarat usia minimal bagi kepala daerah diputuskan sejak KPU menetapkan pasangan calon bukan sejak pelantikan calon terpilih. 

Keputusan MK ini menganulir putusan Mahkamah Agung (MA) yang mensyaratkan usia paslon dipenuhi saat pelantikan. Adapun syarat minimal usia calon adalah 30 tahun untuk cagub atau  cawagub. Artinya jika ada calon yang usianya belum 30 tahun saat penetapan paslon oleh KPU maka menurut MK pencalonannya tidak sah. 

Banyak yang mengaitkan putusan MK dengan putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep. Ia seakan mendapat karpet merah dari keputusan MA sebelumnya. Tetapi, dengan hasil putusan MK, Kaesang tentu tak dapat berbuat banyak. Jalannya tertutup. Ia bakal berusia 30 tahun saat pelantikan gubernur. 

"Upaya DPR dalam menganulir keputusan MK harus kita kritisi karena sudah terlalu semena-mena terhadap konstitusi", tegas Rafish.

Karena itu, tak sedikit yang menganggap bahwa DPR melewati batas-batas dan upaya perlawanan terhadap konstitusi.

Hal ini memang sepenuhnya wajar. Mengingat, keputusan MK adalah keputusan yang final dan mengikat. 

Tak ada yang boleh melanggarnya, atau bahkan berupaya melawannya. 

"Ini inkonstitusional. Apalagi, DPR tidak berusaha untuk mendengarkan aspirasi dari masyarakat. Rakyat saja sudah tidak diikutsertakan. Akibatnya kita bisa lihat sendiri kalau akhirnya Kaesang nanti bisa nyalon di Pilkada 2024", lanjutnya dengan intonasi geram.

Kejadian demonstrasi #KawalPutusanMK ini tak terjadi kebetulan. Terdapat serangkaian peristiswa sebelumnya yang mengakibatkan massa turun melakukan aksi ke jalan. Setidaknya, dari artikel yang ditulis oleh Alwaton (2024) berjudul, "Rapor Merah 1 Dekade Kepemimpinan Jokowi", ada beberapa peristiswa yang melatarbelakangi demonstrasi ini terjadi. Misalnya saja isu cipta kerja, pelemahan KPK, pelanggaran HAM, kontroversi pemindahan IKN, hingga dinasti politik pada pemilu 2024. 

NAMUN SUDAH JATUH TERTIMPA TANGGA, upaya dinasti yang dilakukan Jokowi justru mengakibatkan kemunduran terhadap demokrasi yang ia pimpin. 

Alhasil, Indeks Demokrasi Indonesia belum pulih. Hal itu terlihat dari sejumlah indikator mengenai kondisi demokrasi di Indonesia, misalnya Freedom House yang menyebut bahwa demokrasi Indonesia masih belum bebas. Bahkan The Economist Intelligence Unit masih mengkategorikan Indonesia sebagai negara dengan 'demokrasi cacat'. 

Data-data tersebut mencatat demokrasi Indonesia cenderung rendah karena adanya ancaman terhadap kebebasan sipil. Dalam jurnal penelitian berjudul Power Consolidation and its Impact on the Decline of Democracy in Indonesia Under President Jokowi, indeks demokrasi Indonesia menurun disebabkan karena rezim Jokowi cenderung mengintimidasi dan menangkap orang-orang yang berani mengkritik pemerintahan Jokowi.

"Pastinya, dinasti politik yang dipakai oleh Jokowi ini sangat bahaya. Padahal negara kita memakai asas negara berlandaskan demokrasi. Kalau demokrasi kita seperti ini, ya sama saja dengan negara lain yang menggunakan sistem kerajaan. Tapi kan negara Indonesia itu demokrasi. Jadi ini sangat tidak sesuai dengan esensi demokrasi kita", kata Rafish saat diwawancarai secara langsung, Kamis (22/8/2024). 

Dalam tuntutannya, aksi massa juga mempersoalkan partai politik oposisi yang minim. Keputusan MK sebetulnya menjamin partai politik untuk bisa maju sendiri mencalonkan kepala daerahnya tanpa harus berkoalisi. Hal ini tentu membuat demokrasi terbuka luas. Namun, hanya berselang 12 jam setelah MK menetapkan keputusan itu, DPR nyatanya menganulir putusan ini dan akhirnya membuat oposisi partai politik dan kemunculan calon baru menjadi minim dan sedikit.  

Sebelumnya, bila mengambil kasus di Pilkada DKI Jakarta 2024, konstelasi politik memang cenderung stagnan. Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mendukung Prabowo-Gibran pada pilpres 2024 lalu telah memborong semua dukungan partai politik untuk mendukung Ridwan Kamil pada Pilgub DKI Jakarta. Tak ada lagi parpol tersisa. 

Partai Nasdem memiliki kader yang diancam kasus korupsi apabila tidak bergabung ke KIM, 

Cak Imin (Ketua Umum PKB) diancam lengser dari posisinya karena konflik dengan PBNU,

Sementara PKS akan mendapat kue kekuasaan dengan ditawari kursi cawagub mendampingi Ridwan Kamil. 

Alhasil, semuanya beralih mendukung Ridwan Kamil dalam koalisi gemuk KIM Plus (sebutan parpol gabungan pendukung RK di Pilkada DKI). 

Dengan adanya putusan MK tentang ambang batas pencalonan kepala daerah, tentu demokrasi terbuka luas. Selain itu, wujud parpol oposisi pun menjadi kenyataan.

Namun, apa daya, parpol oposisi itu dikebiri oleh DPR. Padahal, dalam negara demokrasi, parpol oposisi harus ada. 

"Oposisi partai politik harus ada. Ini mutlak"

"Pemerintah itu sederhana kok. Cukup libatkan saja masyarakat, dengarkan. Seperti halnya keputusan ini ya jelas harus ada aspirasi dari masyarakat." Putus Rafish mengakhiri percakapannya sembari berharap kepada pemerintah. 

Suara demonstrasi menunjukkan adanya political awareness yang terbangun

AKSI MASSA kamis lalu juga turut mendatangkan sederet artis dan akademisi hingga guru besar dari berbagai macam perguruan tinggi, tak terkecuali dari kalangan mahasiswa. 

"Aksi turun ke jalan ini hanya merupakan salah satu bentuk protes dari masyarakat, khususnya di daerah-daerah seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta dan kota-kota besar lainnya. Selain itu, aksi ini sekaligus menunjukkan bahwa kesadaran itu mulai terbangun. Tak hanya dari mahasiswa, tapi ada pula dari akademisi bahkan public figure juga sudah turun ke lapangan. Artinya, kita bisa melihat bahwa mereka sensitif terhadap isu tersebut dan mereka menyadari bahwa ada yang tidak beres di negeri ini. Jadi ini menunjukkan bahwa adanya kesadaran kolektif terhadap demokrasi yang semakin mengkhawatirkan," ujar Aga, mahasiswa lulusan perguruan tinggi negeri ternama. 

Keputusan MK memang mendatangkan angin segar bagi lembaga negara tersebut yang sempat mendapat rapor merah dari publik. Tak hanya itu, keputusan itu juga seakan membuka ruang-ruang demokrasi yang semakin luas. 

"Putusan MK ini juga membuka individu maupun partai politik yang tidak memenuhi parlimentary trenshlod sebesar 20% untuk mencalonkan kandidat paslon di pilkada tahun ini," lanjut Aga. 

Namun, sangat disayangkan, DPR seakan tak perduli. Mereka lebih memilih untuk mengundang amarah dari publik. Akibatnya, DPR harus merasakan pil pahit itu lantaran masifnya aksi massa yang terjadi. 

Banyaknya demonstrasi yang dilakukan publik adalah contoh nyata bagaimana Jokowi gagal dalam mengkondisikan kebijakan yang ia buat. Tak jarang justru aksi demonstrasi dilakukan dengan cara dan aksi kekerasan. Data Amnesty selama 2019 hingga 2022 menyebut setidaknya terdapat 328 kasus melibatkan serangan fisik dan/atau digital dengan korban yang mencakup pembela HAM, aktivis, jurnalis, hingga demonstran dan mahasiswa.

Aksi massa yang dilakukan beberapa waktu lalu tak ayal juga memakan korban akibat represifitas dari aparat kepolisian. Setidaknya, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI mencatat sejumlah kasus tindakan represif aparat keamanan saat demo Kawal Putusan MK di sejumlah daerah. Ketua YLBHI Muhammad Isnur mengatakan terdapat puluhan tindakan represif, intimidasi, hingga kekerasan terhadap massa aksi.

Dia menyoroti kasus represif aparat yang terjadi di Semarang, Makassar, Bandung, hingga Jakarta. Di Semarang setidaknya 18 massa aksi harus dilarikan ke rumah sakit. Sementara di Bandung, YLBHI mencatat ada 31 orang massa aksi Kawal Putusan MK mendapat tindakan kekerasan aparat keamanan. Tak hanya dari massa pendemo, aksi demonstrasi juga memakan korban dari kalangan jurnalis. Narasi Newsroom mengungkapkan terdapat aksi intimidasi yang dilakukan aparat kepolisian terhadap jurnalis-jurnalis seperti jurnalis Narasi, Pikiran Rakyat, IDN Times, dan Tempo. Intimidasi juga bahkan dialami salah satu jurnalis kami saat melakukan liputan di Gedung DPRD Jawa Barat. 

Putusan MK harusnya dipatuhi seluruh elemen

Tak jauh dari lokasi demonstrasi, kami bertemu dengan Faisal, sosok pedagang kaki lima yang berjualan di pinggiran trotoar. 

Foto: Fasial (pedagang kaki lima di sekitaran lokasi demonstrasi). (Kanal Perspektif/ Yogie Alwaton)

Ia banyak berkomentar soal keputusan MK yang menurutnya harus dipatuhi seluruh elemen. 

"Keputusan MK kan gabisa diganggu gugat ya," kata Faisal.

Menurut dia, publik harus mampu memperjuangkan hak-hak warga sipil dengan cara mengkritisi kinerja dari DPR.

"Kita sebagai warga biasa tak bisa berbuat banyak. Tugas kita hanya mengkritik. Misalnya kritis soal DPR yang buka jalan buat Kaesang biar bisa nyalon padahal kan ya belum bisa karena umurnya masih 29. Terus DPR merubah gitu aja dan tidak mengikuti keputusan MK," tutur Faisal sambil menjajakan dagangannya. 

"Saya sih cuma pengen penguasa lebih baik lagi lah, lebih jujur," pungkasnya. 

Ada upaya 'memperkosa' negara

Pemerhati hukum tata negara sekaligus Pengacara Publik LBH Manado, Pascal Wilmar berpendapat alasan mahasiswa turun ke jalan semata-mata dilandaskan karena tanggung jawab intelektual mereka dalam menyikapi kondisi negara saat ini. Menurutnya, pemerintah pada era Presiden Joko Widodo, cenderung membunuh demokrasi dan memperkosa negara yang berlandaskan pada asas hukum dan demokrasi. 

"Bisa kita lihat produk produk legislasi saat ini seperti RUU Pilkada yang lebih mementingkan kepentingan tertentu bahkan kepentingan keluarganya sendiri dibandingkan aspirasi masyarakat," katanya saat ditemui secara terpisah melalui percakapan daring. 

Ia melanjutkan publik harus tetap mengawal dan terus mengkritik DPR atas keputusan MK mengenai RUU Pilkada kemarin. 

"Mengapa kita harus keras dengan DPR? Pertama, DPR tidak menjalankan fungsi pengawasan yang optimal, karena lebih memilih "berselingkuh" dengan pemerintah sehingga produk-produk pemerintahan sangat tidak berpihak pada masyakat. Kedua, DPR juga hanya menghasilkan produk legislasi bernuansa kartelisasi politik yang tujuannya pure  untuk mementingkan kepentingan oligarki politik," ungkap pria lulusan S2 Hukum Tata Negara UGM ini.

Pascal juga menegaskan bahwa dalam tatanan demokrasi, pemerintahan harus memiliki oposisi.

"Wajib secara politik dalam suatu pemerintahan harus ada oposisi. Melihat praktik pemerintahan sekarang yang sangat nir-oposisi dalam pemerintahan jokowi, tentu akan menyebabkan bibit-bitit otokrasi akan timbul dan menguat akibat tidak adanya oposisi atau kontrol dari masyarakat maupun partai politik yang mengawasi pemerintahan," katanya. 

Untuk melakukan disiplin verifikasi, Kanal Perspektif sudah berupaya menghubungi pihak DPRD Jawa Barat dengan mendatangi kantor mereka di Jl. Diponegoro No.27, Citarum, Kecamatan Bandung Wetan, Kota Bandung pada 22 dan 23 Agustus 2024. Namun, dalam dua momen itu kami tak kunjung menemukan jawaban. 


Post a Comment

0 Comments