No Viral No Justice dalam Kasus Kematian Afif

Kasus kematian Afif. Foto: Gelora News


Kematian Afif Maulana (13) pemuda asal Padang, Sumatera Barat sampai saat ini masih menimbulkan tanda tanya besar. Pihak keluarga menilai ada penyiksaan yang dilakukan anggota Polda Sumbar kepada Afif hingga ia meninggal. Namun, kepolisian nyatanya memiliki argumen yang berbeda. 

Pihak Polda Sumbar menyangkal Afif meninggal karena adanya penyiksaan oleh anggota mereka. Mereka berdalih kematian Afif terjadi karena alasan pelanggaran prosedur. Bukan penyiksaan. 

Terbaru, pihak kepolisian justru sibuk mencari siapa orang pertama yang memviralkan informasi penyebab kematian Afif. 

Hal ini sangat disayangkan. Niat polisi justru tak sejalan dengan harapan publik. Mereka seharusnya bisa fokus pada penyelesaian masalah kematian korban, bukan pada siapa yang memviralkan. 

Kenyataan yang berbeda

Namun, begitulah fakta lapangan sebenarnya. Tentang performa kepolisian kita. 

Apa yang diberitakan Koran Tempo soal “no viral no justice” dengan demikian tak ayal seakan semakin melanggengkan anti-kritik aparat kepolisian dalam mengayomi dan menyelesaikan persoalan seperti apa yang dialami Afif. 

Marwah jurnalisme Tempo

Apa yang dilakukan Tempo selanjutnya patut kita apresiasi. Tempo bahkan secara terbuka membuat editorial berjudul, "Kami Yang Viralkan Kematian Afif Maulana" atas kematian Afif. Mereka berani menyatakan bahwa mereka yang memviralkan video dan informasi penyebab meninggalnya Afif. 

Secara lahiriah, apa yang disuguhkan wartawan Tempo sepenuhnya benar. Memang itulah pekerjaan wartawan. Mereka harus mencari fakta, menuliskan fakta dan menyebarkan fakta tersebut pada publik. Tiga pokok fondasi itu adalah entitas wartawan yang tak dapat dipisahkan dari kerja-kerja jurnalistik mereka.

Dalam buku The Journalist pun disebutkan bahwa wartawan harus memiliki telinga yang panjang. Dalam kasus kematian Afif, wartawan Tempo sejatinya telah menerapkan 'telinga panjang' ini, yang memiliki arti peka dan punya respon cepat dalam setiap peristiwa. 

Maka, dengan cara menuliskan fakta soal kematian Afif tersebut, wartawan Tempo sebetulnya telah menunaikan tugasnya secara sempurna. Untuk melaporkannya pada publik. 

Dengan demikian, dari penjelasan di atas kita bisa melihat bahwa polisi seharusnya tak perlu repot-repot mengurusi ini. Perkara menyusun fakta lapangan berupa tulisan adalah pekerjaan wartawan. Bukan kepolisian. Polisi harus kembali ke marwah mereka dengan fokus pada urusan penyelesaian masalah kematian Afif. Itu saja. 


Yogie Alwaton - Pemimpin Umum Kanal Perspektif

Post a Comment

0 Comments