Kontroversi RUU Penyiaran

Ancaman RUU Penyiaran pada kebebasan jurnalisme. Foto: Tempo.co


Setelah beberapa tahun terbit dan tenggelam, wacana revisi atas Undang-Undang No.32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran kembali mengemuka. Namun bukan dengan penyelesaian masalah dan regulasi yang ciamik, nyatanya draft revisi undang-undang produk reformasi ini mengundang banyak kontroversi. Diantaranya, karena dianggap mengancam kebebasan pers, membatasi informasi publik, hingga membatasi keragaman konten di ruang digital. Setidaknya, ada beberapa pasal yang dianggap akan merugikan banyak pihak.


Misalnya pada pasal 50 B ayat (2) yang akan melarang penayangan jurnalisme investigasi. Pasal ini dianggap bertentangan dengan semangat UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasalnya, pada undang-undang pers itu disebutkan dengan tegas bahwa tidak ada larangan karya jurnalistik, termasuk liputan karya investigatif. Jika kita amati seksama, apabila pasal tersebut nantinya disahkan, bukan hal yang mustahil siaran dan konten penyiaran kita menjadi homogen dan itu-itu saja. Konten seragam ini tentu bukan hal yang menyenangkan. Ini karena sudah banyak penelitian yang mengatakan bahwa adanya konten yang sama ini akan menimbulkan bias kepentingan. Terlebih bila ada afiliasi politik pemilik media dalam perusahaan penyiaran. 


Untuk menjelaskan ini, nampaknya penelitian yang dilakukan Remotivi pada 2014 dan 2019 menjadi bukti bahwa afiliasi politik ini digunakan sebagai alat politis untuk hanya mementingkan kepentingan pemilik media dan partai politik mereka. Hal ini kemudian berkelindan pada konten penyiaran yang tidak sehat dan hanya menjadi alat penguasa untuk dapat duduk dengan nyaman di kursi penguasa. Seharusnya penyiaran yang sehat mesti membuka seluas-luasnya suara-suara alternatif serta konten yang beragam sudut padang. Dengan begitu akan terciptalah diversity of content penyiaran yang publik idam-idamkan. 


Sehingga, sampai di sini, nampaknya sah-sah saja jika kita berspekulasi bahwa regulasi penyiaran kita nantinya akan didominasi oleh elit dan penguasa yang takut akan suara kritis. Hal ini berlaku apabila pasal 50 tersebut tidak mendengarkan aspirasi publik secara luas. Demikian, adanya RUU Penyiaran yang nantinya akan menggantikan UU Penyiaran Tahun 2002 ini dianggap sarat akan pembatasan kebebasan pers. 


Selanjutnya, ada pula pelarangan isi siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, hingga pencemaran nama baik yang juga kontroversial karena dianggap subyektif dan multitafsir. Yang menjadi persoalan ialah, sampai sejauh mana indikator pencemaran nama baik yang dimaksud? Dengan adanya RUU Penyiaran ini, jurnalisme penyiaran demikian berpotensi terkena pasal tersebut. Pasal ini tak ayal berpotensi membungkan pers di bidang siaran. 


RUU Penyiaran juga akan membuat KPI semakin powerful dan membuat Dewan Pers semakin berkurang fungsi pengawasannya. Hal ini terjadi karena pada Pasal 8 disebutkan jika PKI akan berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik di bidang penyiaran. Artinya, hal ini akan menimbulkan tumpang tindih wewenang antara Dewan Pers dan KPI. 


RUU Penyiaran juga nyatanya akan membuat KPI dapat mengatur konten digital yang akan diawasi dan disensor layaknya konten penyiaran konvensional. Hal ini membuat KPI akan mendapat wewenang tambahan yang sebelumnya hanya mengawasi televisi dan radio dengan dapat mengawasi konten digital. 


Respons pemerintah

Namun bukan kemudian pemerintah berupaya mendengarkan aspirasi publik secara luas, mereka justru seakan-akan terburu-buru mengesahkan RUU ini pada penghujung 2024. Pada akhirnya wajar saja bila publik pun berkata bahwa regulasi ini memang terlalu terburu-buru dan tidak banyak mendengarkan aspirasi dari masyarakat luas. 


Kecaman publik

Dewan Pers, AJI, komunitas sipil hingga konten kreator selanjutnya turut mengecam RUU ini. Mereka menolak karena adanya ancaman terhadap kebebasan pers. RUU Penyiaran yang akan disahkan ini tidak hanya berdampak pada komunitas pers, tetapi juga masyarakat luas. Sebab, di dalamnya terdapat pasal-pasal kontroversial yang menghambat kerja-kerja jurnalistik dalam menyampaikan informasi kepada publik. 

Post a Comment

0 Comments