Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu memberikan penjelasannya terkait draf perpres jurnalisme berkualitas di Aula Gedung Dewan Pers Lantai 7, Jakarta Pusat. Foto: Tempo.co
Belakangan publik diramaikan oleh adanya draf Perpres yang telah ditandatangani oleh Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu kepada Presiden Jokowi. Sebetulnya ini bukanlah isu baru, lantaran sejak 17 Februari 2023 lalu Dewan Pers telah mengajukan draf peraturan itu. Adapun, isi dari draf Perpres ini adalah kewajiban para digital platform dalam mendukung jurnalisme berkualitas.
Sampai sini, Perpres ini sejatinya bertujuan mulia. Ini karena ia berfungsi untuk membatasi informasi yang tidak bisa dipertanggung jawabkan. Harapannya, melalui Perpres ini, media digital mampu mendukung adanya berita berkualitas pada jurnalisme.
Dewan Pers menganggap bahwa algoritma dunia maya begitu kusam sehingga melahirkan produk-produk jurnalistik yang tidak berkualitas.
Namun meski begitu, Perpres ini nyatanya mendapat sejumlah kritikan dari konten kreator, akademisi, perusahaan raksasa Google hingga Meta yang memiliki Facebook dan Instagram. Kritikan ditujukan dikarenakan Perpres ini tidak hanya berpotensi mematikan para konten kreator. Lebih daripadanya, Perpres ini dianggap akan memunculkan apa yang dinamakan 'penguasaan algoritma'. Dengan kata lain, ini akan memberikan ruang yang luas bagi para regulator untuk menentukan mana konten yang layak muat dan yang tidak.
Sebagai gambaran, bayangkan saja misalnya ketika ada elit politik yang sedang berkuasa. Lalu, ia 'menitip' seseorang di Dewan Pers dan meminta untuk mengendalikan apa yang elit politik tersebut ingin kendalikan. Tentu, akan adanya keseragaman informasi dan membuat khalayak didikte dengan ideologi media bersangkutan.
Gambaran kedua pula misalnya. Ini bisa digambarkan dengan para elit politik itu bermain dengan media yang memiliki label media berkualitas di sana. Sebetulnya, fenomena ini sedang terjadi, dimana beberapa media Indonesia nyatanya memiliki kepentingan politik dengan media yang dimilikinya. Adapun akibatnya ialah terbatasnya informasi yang ada sehingga membuat bingkai berita hanya itu-itu saja.
Fenomena penguasaan algoritma di atas bisa saja terjadi apabila Perpres ini diteken oleh Presiden Jokowi.
Isi draf perpres jurnalisme berkualitas
Setidaknya ada delapan kewajiban platform digital dalam rancangan peraturan presiden ini. Di antaranya, mencegah komersialisasi konten yang tidak sesuai kaidah jurnalistik, menghilangkan berita yang tidak memenuhi kaidah jurnalistik sesuai perintah Dewan Pers, transparansi data aktivitas pengguna dengan perusahaan pers, tidak menampilkan berita daur ulang tanpa izin, dan mengikuti ketentuan perpajakan layaknya perusahaan yang beroperasi di Indonesia.
Dari isi draf Perpres tersebut di atas, kita sebetulnya bisa melihat bahwa Perpres ini akan sangat berisiko bagi keberlangsungan jurnalisme berkualitas itu sendiri. Alih-alih membuat berita menjadi berkualitas, namun yang terjadi justru sebaliknya, membuat penurunan dari kualitas informasi yang telah diagendakan regulator untuk kepentingan mereka.
Misalnya saja isi dari draf yang menyatakan bahwa, "Dewan Pers (regulator) akan menghapus berita yang tidak sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik". Meskipun sekali lagi, sebetulnya Perpres ini bertujuan menjaga ekosistem jurnalisme yang baik, namun tidak menutup kemungkinan Perpres ini akan disalahgunakan. Isi draf ini akan mengakibatkan keterbatasan keberagaman informasi mengingat informasi bersifat dinamis dan cepat berubah meskipun dalam hitungan jam.
Apabila Dewan Pers memiliki kekuasaan untuk "menghilangkan" suatu berita, maka dikhawatirkan akan cenderung disalahgunakan. Apalagi mengingat tahun 2024 merupakan tahun panas-panasnya politik menjelang pemilu 2024, sehingga informasi yang tersaji ditakutkan akan terpusat.
Kritik dari Google terhadap draf perpres jurnalisme berkualitas
Raksasa mesin pencari, Google, menyampaikan kekecewaannya terhadap rancangan draf Perpres Jurnalisme Berkualitas. Mereka menyatakan bahwa jika draf ini disahkan tanpa perubahan, akan ada dampak negatif pada ekosistem berita digital yang lebih luas.
Google berpendapat bahwa Perpres ini dapat membatasi berita yang tersedia secara online dan hanya menguntungkan sejumlah kecil penerbit berita, sementara membatasi keberagaman sumber berita bagi publik.
Fenomena buruk itu bisa saja terjadi. Mengingat keberagaman konten berita sesungguhnya merupakan nyawa dari jurnalisme itu sendiri. Setidaknya, ada ratusan media alternatif yang akan terancam keberlangsungannya. Apa implikasinya? Tentu hanya media-media yang telah terlebih dahulu mendapat label jurnalisme berkualitas yang akan merajai informasi. Kenyataan ini akan diperparah dengan seragamnya informasi yang diterima publik. Maka dengan demikian, khalayak tidak akan mendapatkan keragaman informasi dari media alternatif yang pada hakekatnya memiliki sudut pandang lain dalam membuat berita.
Kritik Meta
Platform digital Meta tak ayal pula ikut menolak rancangan Peraturan Presiden tentang Jurnalisme Berkelanjutan atau dikenal dengan sebutan publisher rights ini. Mereka mengancam akan memblokir konten berita dari Indonesia di semua platform mereka, seperti Facebook dan Instagram.
Di sisi lain, berdasarkan data Facebook, dalam beberapa tahun terakhir konten berita tidak lagi menjadi sesuatu yang dicari di Facebook. Para pengguna tidak lagi tertarik membaca berita melalui Facebook sehingga tidak lagi menjadi sumber pendapatan utama Meta. Khalayak saat ini lebih banyak menikmati konten-konten dari konten kreator yang diunggah dalam bentuk video pendek.
Dengan begitu, khalayak kembali akan diracuni dengan informasi yang terbatas. Ini terjadi apabila Dewan Pers yang sejatinya adalah teman masyarakat dan penentang kesewenang-wenangan bersikeras dalam menerbitkan Perpres ini.
0 Comments