Kekerasan Ada di Balik Identitas Seseorang. Ilustrasi: Mardiana |
Wacana identitas memang dapat dipandang sangat luas. Setiap orang
punya asumsi dan interpretasi berbeda-beda dalam memandang persoalan ini. Identitas sebagai
salah satu entitas yang melekat dalam diri manusia merupakan sebuah konsep
untuk membedakan antara satu individu dengan individu lainnya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), identitas
diartikan sebagai ciri khusus seseorang atau jati diri. Identitas dapat
diasosiasikan dengan jati diri seperti kewarganegaraan, suku, ras, agama,
hingga ciri spesifik seseorang.
Identitas sudah ada pada diri seseorang sejak lahir. Menariknya,
identitas disini dapat terus bertambah sesuai dengan lingkungan, pergaulan
hingga pengalaman yang dialami. Kita hari ini adalah kumpulan identitas yang
terakumulasi sejak kita lahir. Sederhanya, ketika lahir paling tidak kita sudah
menyandang beberapa identitas seperti anak keberapa, berkulit putih, dan lain
sebagainya. Hal ini akan terus bertambah
seumur hidup.
Dilain sisi, wacana identitas tak hanya berhenti pada ranah definitif.
Tak berhenti pada pertanyaan “what?”
saja, tapi berlanjut hingga “How?”. Dari sekian banyak tokoh yang berbicara
mengenai Identitas, saya sangat tertarik dengan pandangan Amartya Sen. Bukan karena
pandangan tokoh lain tak menarik dan mendalam, tapi karena Amartya Sen punya
pandangan berbeda terkait identitas.
Amartya Sen adalah seorang ekonom yang juga pakar dalam
bidang filsafat. Dalam bukunya Kekerasan
dan Identitas, Amartya Sen menjelaskan bahwa identitas bisa menjadi sebuah
gerbang kekerasan. Identitas dapat memicu pembuhunan dan membuat orang mati
sia-sia.
Kesetiakawanan yang kuat pada suatu kelompok memicu
timbulnya sebuah persepsi mengenai jarak dan keterpisahan dari kelompok lainnya.
Keterikatan inilah yang dapat menumbuhkan kebencian dan perselisihan antar
kelompok. Sialnya, kelompok menjadi salah satu bentuk identitas yang melekat
dan selalu kita bawa kemana-mana.
Dimulai dari fenomena terkecil yang terjadi di sekolah. Kita
kerap mendefinisikan diri sebagai genk.
Siapa bermain dengan siapa, membatasi pergaulan dengan orang yang itu-itu saja.
Eksklusifitas yang terbangun ini kebanyakan berujung pada perselisihan dan
konflik.
Tak hanya sampai disitu, benih-benih keterikatan yang sudah
tumbuh tersebut akan terbawa hingga ke fenomena yang lebih besar, yaitu tawuran
antar sekolah. Berangkat dari identitas yang berbeda, mereka saling adu mental
dan kekuatan.
Tentu hal ini akan terus berlanjut hingga pada kelompok
dengan skala yang lebih besar seperti suku, ras, agama, hingga kewarganegaraan.
Amartya Sen juga menjelaskan kisahnya tentang kerusuhan antara Hindu-Muslim pada
tahun 1940an di India. Ia yang saat itu masih kecil melihat begitu cepatnya
perubahan yang terjadi. Orang-orang yang saat itu masih rukun dalam satu
identitas sebagai bangsa India, tiba-tiba berubah menjadi orang Hindu dan
Muslim yang sama-sama kejam.
Dari sini kita mendapatkan satu kesimpulan mengenai
identitas, bahwa kekerasan yang terjadi disebabkan oleh identitas tunggal penuh
permusuhan yang menguasai seseorang.
Apa Penawarnya?
Selain punya sisi negatif yang menyebabkan kekerasan dan
pengucilan, identitas juga punya sisi positif yang dapat memberikan ketentraman
dan harmonisasi hubungan. Seperti koin, identitas memiliki dua sisi berbeda
yang harus dipahami dengan semestinya.
Di satu sisi, Identitas juga bisa menjadi sumber kehangatan
sebuah hubungan dan menjadi pemicu keakraban seseorang. Perhatian kita terhadap
identitas tertentu seperti tetangga, berasal dari daerah yang sama, suku yang
sama, atau anggota dari kelompok yang sama dapat mempererat hubungan dan
membuat kita bersedia untuk melakukan kegiatan bersama. Hal ini tentu membuat
kita keluar dari pandangan hidup yang hanya berpusat pada diri sendiri.
Maka, dari pada menuruti identitas yang menyulut
perselisihan, kita harus mengarahkan suatu pemahaman bahwa identitas tunggal penuh
permusuhan pada diri seseorang bisa dilawan dengan identitas majemuk yang
saling terikat.
Kita harus selalu fokus terhadap kesamaan identitas dari
pada mencari perbedaannya. Dalam suatu sistem sosial, kita bisa menempatkan
diri sebagai bagian dari kelompok tersebut. Entah dari asal daerah, jenis
kelamin, taraf ekonomi, profesi, selera musik, dan lain sebagainya.
0 Comments